Minggu, 28 Februari 2010

Mengapa Anak Bisa Serupa dengan Orang Tuanya?

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, demikian kata pepatah. Dan kiranya kalau kita mau sekadar mencocok-cocokkan, pepatah ini bisa berlaku pada anak Adam. Maksudnya bagaimana? Coba kita perhatikan seorang anak dari suatu keluarga. Biasanya anak itu kalau nggak mirip ayahnya atau keluarga ayahnya, ya… mirip dengan ibunya atau keluarga ibunya. Artinya, sebagaimana buah yang jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Demikian pula anak yang terlahir, tak jauh dari sifat salah satu dari orang tuanya (keluarga orang tuanya) atau membawa sifat kedua-duanya. Terkadang anak itu laki-laki tapi sifat seperti ibunya, dan sebaliknya anak perempuan tapi sifatnya seperti bapaknya.

Demikianlah Allah subhanahu wa ta’ala mengatur ciptaan-Nya, karena itu hendaknya manusia pandai-pandai bersyukur kepada-Nya dan memperhatikan dirinya dari apa ia diciptakan, sebagaimana Dia Yang Maha Tinggi berfirman:

فَلْيَنظُرِ اْلإِنسَانُ مِمَّ خُلِقَ خُلِقَ مِن مَّاء دَافِقٍ يَخْرُجُ مِن بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ

“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Ia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.” (Ath Thariq: 5-7)

Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala (4/498): “Firman Allah ta’ala: (Ia diciptakan dari air yang terpancar), yakni air yang keluar dengan terpancar dari laki-laki dan perempuan, maka akan terjadilah (lahirlah) anak dari keduanya dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla, dan karena itu Dia berfirman: (yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada), yakni dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.”

Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa Allah menciptakan anak manusia dengan pertemuan air mani yang terpancar yang keluar dari sepasang suami istri tatkala keduanya melakukan jima’. Lalu Dia jadikan anak itu laki-laki atau perempuan, serupa dengan ayah atau ibunya, sesuai dengan apa yang Dia kehendaki dan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa.

Bagaimana Anak yang Terlahir Bisa Laki-laki dan Bisa Perempuan, dan Bagaimana Bisa Terjadi Penyerupaan dengan Orang Tua?

Anda mungkin sedang menanti-nantikan lahirnya anak laki-laki di tengah keluarga atau sebaliknya Anda sedang mendambakan lahirnya anak perempuan. Sebenarnya bagaimana sih prosesnya sehingga anak yang lahir bisa laki-laki dan bisa perempuan, bisa serupa ayahnya atau ibunya?

Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, ia berkata: Abdullah bin Salam (seorang Yahudi) mendengar berita kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah. Maka ia pun mendatangi beliau, lantas berkata: “Aku akan menanyaimu dengan tiga perkara, tidak ada yang mengetahui jawabannya kecuali Nabi.” Lalu ia mulai bertanya: “Apa tanda awal datangnya hari kiamat? Makanan apa yang pertama kali disantap penduduk surga? Apa sebab seorang anak bisa serupa dengan bapaknya dan apa sebab bisa serupa dengan akhwalnya (keluarga ibunya)?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam menjawab: “Baru saja Jibril mengabarkan kepadaku.” Maka berkata Abdullah: “Jibril adalah musuh Yahudi dari kalangan malaikat.” Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam lalu menjawab (tiga pertanyaan tersebut):

أَمَّ أَوَّلُ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ فَنَارٌ تَحْشُرُ النَّاسَ مِنَ الْمَشْرِقِ إِلىَ الْمَغْرِبِ وَأَمَّا أَوَّلُ طَعَامٍ يَأْكُلُهُ أَهْلُ الْجَنَّةِ فَزِيَادَةُ كَبَدِ حُوْتٍ. وَأَمَّا الشِّيْهُ فِيْ الْوَلَدِ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَشَّى الْمَرْأَةَ فَسَبَقَهَا مَاؤُهُ كَانَ الشِّبْهُ لَهُ، وَإِذَا سَبَقَ مَاؤُهَا كَانَ الشِّبْهُ لَهَ. قَالَ: أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ. (حديث صحيح رواه البخاري)

“Adapun tanda awal terjadinya hari kiamat adalah keluarnya api yang akan mengumpulkan manusia dari timur ke barat. Makanan yang pertama kali disantap penduduk surga adalah hati ikan yang besar. Sedangkan masalah penyerupaan anak, apabila suami menggauli istrinya lalu air maninya keluar mendahului air mani istrinya maka anak (yang akan lahir) itu serupa dengan dirinya. Apabila air mani istrinya keluar lebih dulu maka anak itu akan serupa dengan istrinya.” Mendengar jawaban dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, Abdullah berkata: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah.” (Abdullah bin Salam kemudian masuk islam, radhiyallahu ‘anhu-pen).

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwasanya wanita juga mengeluarkan mani sebagaimana laki-laki dan dengan mani itulah anak bisa serupa dengan ayah atau ibunya.

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwasanya Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِ مِنَ الْحَقِّ، فَهَلْ عَلىَ الْمَرْأَةِ الْغُسْلَ إِذَا احْتَلَمَتْ؟ قَالَ: نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ. فَضَحِكَتْ أُمَّ سَلَمَةَ فَقَالَتْ: تَحْتَلِمُ الْمَرْأَةُ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: فِيْمَا تُشْبِهُ الْوَلَدَ؟ (رواه البخاري جـ٣٣٢٨)

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari perkara yang haq. Apakah wanita juga harus mandi jika ia bermimpi (ihtilam)?” Beliau menjawab: “Ya, apabila melihat air.” Maka tertawalah Ummu Salamah dan berkata: “Apakah wanita juga mimpi (ihtilam)?” Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam: “Bagaimanakah bisa terjadi penyerupaan anak?” (HR Bukhari no. 3328)

هَلْ تَغْتَسِلُ الْمَرْأَةُ إِذَا احْتَلَمَتْ وَأَبْصَرَتِ الْمَاءَ؟ فَقَالَ: (نَعَمْ) فَقَالَتْ لَهَا عَائِشَةُ: تَرِبَتْ يَدَاكِ وَأَلَّتْ، قَالَتْ: فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم دَعِيْهَا، وَهَلْ يَكُوْنُ الشَّبْهُ إِلاَّ مِنْ قِبَلِ ذَلِكَ، إِذَا عَلاَ مَاؤُهَا مَاءَ الرَّجُلِ أَشْبَهَ الْوَلَدُ أَخْوَالَهُ، وَإِذَا عَلاَ مَاءُ الرَّجُلِ مَاءَهَا أَشْيَهُ أَعْمَامَهُ.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya seorang wanita berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam: “Apakah wanita juga harus mandi jika ia bermimpi dan melihat air?” Beliau menjawab: “Ya.” Maka ‘Aisyah berseru: “Taribat yadaki.” (kalimat pengingkaran yang ditujukan ‘Aisyah kepada wanita tersebut karena ia bertanya dengan pertanyaan demikian-pen). Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam: “Biarkan dia, dari manakah persamaan bila tidak dari demikian. Bila air mani perempuan melebihi air mani laki-laki maka anak (yang terlahir) akan serupa dengan akhwalnya (keluarga ibunya) dan bila air mani laki-laki melebihi air mani perempuan maka anak akan serupa dengan a’mamnya (keluarga ayahnya).” (HR Imam Muslim hal. 251 Tartib Muhammad Fuad Abdul Baqi)

Dari hadits ‘Aisyah di atas dipahami bahwa pengunggulan dari air mani yang keluar, dengan izin Allah merupakan sebab penyerupaan anak. Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan Imam Muslim dari Tsauban maula Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam dijelaskan bahwa pengunggulan merupakan sebab anak yang terlahir itu laki-laki atau perempuan, dengan izin Allah. Yakni ketika datang seorang pendeta Yahudi kepada Nabi shallallahu ‘alahi wasallam. Ia bertanya tentang beberapa perkara, salah satunya ia bertanya tentang anak. Maka Nabi shallallahu ‘alahi wasallam menjawab:

مَاءُ الرَّجُلِ أَبْيَضُ وَمَاءَ الْمَرْأَةِ أَصْفَرُ فَإِذَا اجْتَمَعَا فَعَلاَ مَنِيُّ الرَّجُلِ مَنِيَّ الْمَرْأَةِ ذَكَرًا بِإِذْنِ اللهِ، وَإِذَا عَلاَ مَنِيُّ الْمَرْأَة مَنِيَّ الرَّجُلِ أُنْثًا بِإِذْنِ اللهِ.

“Air mani laki-laki itu warnanya putih sedang air mani perempuan itu kuning. Apabila keduanya berkumpul, lalu air mani laki-laki lebih banyak dari air mani perempuan maka anak (yang akan lahir) laki-laki, dengan izin Allah. Bila air mani perempuan lebih banyak dari air mani laki-laki maka anak (yang akan lahir) perempuan, dengan izin Allah….” (HR Muslim no. 315)

Asy Syaikh Musthafa Al Adawi dalam kitabnya Ahkamun Nisa’ mengatakan bahwasanya dari kedua hadits tersebut (hadits ‘Aisyah dan hadits Tsauban) menjadi jelaslah bahwa pengunggulan merupakan sebab penyerupaan anak dan sebab anak itu laki-laki atau perempuan. Artinya bila air mani laki-laki lebih banyak dari mani perempuan maka anaknya laki-laki serupa dengan a’maamnya (keluarga ayah). Sebaliknya bila air mani perempuan lebih banyak dari mani laki-laki, maka anak yang akan lahir perempuan dan serupa dengan akhwalnya (keluarga ibunya).

Namun terkadang kita dapatkan justru sebaliknya. Ada anak laki-laki tapi serupa dengan akhwalnya dan kadang ada anak perempuan yang serupa dengan a’maamnya, karena sebab itulah sebagian ulama mengarahkannya kepada ta’wil. Di antaranya Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, beliau menakwilkan kata “al ‘uluw” dalam hadits ‘Aisyah dengan makna “As Sabq” (mendahului), sedangkan kata “al ‘uluw” pada hadits Tsauban, sesuai dengan makna zhahirnya (yakni unggul/melebihi). (Fathul Bari 7/273)

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (7/273): “As Sabq” merupakan tanda (anak yang akan lahir) laki-laki atau perempuan sedangkan “Al ’uluw” sebagai tanda keserupaan.” Kemudian Al Hafizh melanjutkan: “Seakan-akan yang dimaksud dengan “Al ’uluw” yang merupakan sebab keserupaan itu adalah bila mani dari salah satunya (laki-laki atau perempuan) keluar dalam jumlah yang banyak sehingga membanjiri yang lainnya. Dengan keadaan ini maka tercapailah keserupaan. Perkara ini ada enam keadaan:

Pertama: Apabila mani laki-laki lebih banyak dan keluar mendahului mani perempuan. Maka anak yang akan lahir laki-laki dan serupa dengan ayah/keluarga ayahnya.

Kedua: Sebaliknya, bila mani perempuan lebih banyak dan keluar mendahului mani laki-laki, maka anak yang akan lahir perempuan dan serupa dengan ibu/keluarga ibunya.

Ketiga: Bila mani laki- laki keluar lebih dahulu namun mani perempuan lebih banyak, maka akan lahir anak laki-laki dan serupa dengan ibunya.

Keempat: Sebaliknya, bila mani perempuan keluar lebih dahulu namun mani laki-laki lebih banyak maka akan terlahir anak perempuan dan serupa dengan ayahnya.

Kelima: Bila mani laki-laki keluar mendahului mani perempuan dan sama banyaknya maka akan terlahir anak laki-laki dan tidak khusus penyerupaannya dengan ayah dan ibunya.

Keenam: Sebaliknya, bila mani perempuan mendahului mani laki-laki dan sama banyaknya maka akan lahir anak perempuan dan tidak khusus penyerupaannya.”

Semuanya itu bisa terjadi dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala. Bila Dia menghendaki akan terjadi dan bila tidak maka tidak mungkin akan terjadi.

Wallahu a’lam.

Maraji’:

1. Al Qur’anul Karim

2. Ahkamun Nisa’, Asy Syaikh Musthafa al Adawi

3. Ahkamut Thifl, Ahmad Al ‘Aysawi

4. Fathul Bari, Ibnul hajar Al Asqalani

5. Shahih Muslim Syarhun Nawawi, Imam An Nawawi.

Sumber: Majalah SALAFY edisi XVIII/Shafar/1418/1997 Lembar Muslimah halaman 10-13, ditulis oleh Ibnatu Husein dan Abu Ishaq Al Atsary)

http://ummuyahya.wordpress.com/2010/02/28/mengapa-anak-bisa-serupa-dengan-orang-tuanya/

Sabtu, 20 Februari 2010

Hukum Memandang dan Berjabat Tangan dengan Selain Mahram

Oleh: Al Ustadz Abul Fadhl Shobaruddin

Pertanyaan:

Sungguh agama telah mengatur segala aspek kehidupan dan menatanya dengan keimanan dan ketundukan kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ. Perbedaan begitu banyak terjadi dalam kehidupan, termasuk kontroversi tentang haram dan tidak haramnya memandang dan berjabat tangan dengan selain mahram. Fenomena ini terus mencuat, lalu bagaimanakah sebenarnya analisa ilmiah tentang hal tersebut?

Jawab:

Allah subhânahu wa ta’âlâ telah menciptakan manusia, maka tentunya Allah pun telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya bagaimana hukum yang berlaku bagi laki-laki dan wanita yang tidak semahram dalam memandang dan berjabat tangan. Olehnya kita simak uraian dalil Al Qur’an dan Sunnah tentang masalah ini, agar hati kita tenang dan dapat mengamalkannya sesuai dengan perintah agama.

Adapun dalil dari Al Qur’an:

Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman dalam surah An Nur: 31

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya.”

Ayat ini menunjukkan perintah Allah subhânahu wa ta’âlâ kepada wanita-wanita mu’minah untuk menundukkan pandangannya dari apa yang Allah subhânahu wa ta’âlâ telah haramkan, maka jangan mereka memandang kecuali apa yang Allah subhânahu wa ta’âlâ telah halalkan baginya.

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah: “Kebanyakan para ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang haramnya wanita memandang laki-laki selain mahramnya apakah dengan syahwat atau tanpa syahwat”. (Tafsir Ibnu Katsir 3/345)

Berkata Imam Al Qurthubi rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini: “Allah subhânahu wa ta’âlâ memulai dengan perintah menundukkan pandangan sebelum perintah menjaga kemaluan karena pandangan adalah pancaran hati. Dan Allah subhânahu wa ta’âlâ memerintahkan wanita-wanita mu’minah untuk menundukkan pandangannya dari hal-hal yang tidak halal. Oleh karena itu tidak halal bagi wanita-wanita mu’minah untuk memandang laki-laki selain mahramnya.” (Tafsir Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an 2/227)

Berkata Imam Asy Syaukani rahimahullah: “Ayat ini menunjukkan haramnya bagi wanita memandang kepada selain mahramnya.” (Tafsir Fathul Qodir 4/32)

Berkata Muhammad Amin Asy Syinqithi rahimahullah: “Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa yang menjadikan mata itu berdosa karena memandang hal-hal yang dilarang berdasarkan firman Allah subhânahu wa ta’âlâ dalam surah Ghafir ayat 19:

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُوْرِ

“Dia mengetahui khianatnya (pandangan) mata dan apa yang disembunyikan oleh hati.”

Ini menunjukkan ancaman bagi yang menghianati matanya dengan memandang hal-hal yang dilarang”.

Al Imam Al Bukhari rahimahullah berkata: “Makna dari ayat (An Nur: 31) adalah memandang hal yang dilarang karena hal itu merupakan pengkhianatan mata dalam memandang.” (Adhwa’ Al Bayan 9/190)

Dalil-dalil dari Sunnah:

# Dari Abi Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhari-Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ فِي الطُّرُقَاتِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا لَنَا بُدٌّ مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيْهَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوْا الطَّرِيْقَ حَقَّهُ قَالُوْا وَمَا حَقُّهُ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Hati-hatilah kalian dari duduk di jalan-jalan, mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah ada apa-apanya (bahayanya) dari majelis-majelis yang kami berbicara di dalamnya? Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam menjawab: “Apabila kalian tidak mau kecuali harus bermajelis maka berikanlah bagi jalanan haknya,” mereka bertanya: “Dan apa haknya jalanan itu?” Rasulullah menjawab: “Menundukkan pandangan, menahan diri dari mengganggu, menjawab salam dan amar ma’ruf nahi mungkar.”

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (11/11): “Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam melarang duduk di jalan, hal ini untuk menjaga timbulnya penyakit hati dan fitnah dari memandang laki-laki ataupun wanita selain mahramnya.”

Berkata Syamsuddin Al ‘Azhim Al Abadi sebagaimana dalam ‘Aunul Ma’bud (13/168): “Ghodhdhul bashor (menundukkan pandangan) yaitu menahan pandangan dari melihat yang diharamkan”.

# Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhari-Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam menegaskan:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakannya.”

Imam Bukhari dalam menjelaskan hadits ini menyatakan bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya dapat berzina, sebagaimana beliau sebutkan dalam sebuah bab bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya dapat berzina.

Dan Al Hafizh Ibnu Hajar telah menukil dari Ibnu Baththal, beliau berkata bahwa: “Mata, mulut dan hati dinyatakan berzina karena asal sesungguhnya dari zina kemaluan itu adalah memandang kepada hal-hal yang haram.” (Fathul Bari 11/26)

Maka dari pernyataan ini menunjukkan bahwa hukum memandang kepada selain mahram adalah haram karena memandang adalah wasilah (jalan) yang mengantar kita untuk berbuat zina kemaluan yang mana hal itu termasuk dosa besar.

# Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

يَتَحَقَّقُ رَجُلٌ مِنْ جُحْرٍ فِيْ حُجَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَمَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مدري يحك به رأسه فقال لو أعلم أنك تنظر لطعنت به في عينك إنما جعل الاستئذان من أجل البصر

“Seseorang dari satu celah mengamati kamar-kamar Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam dan pada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam ada sisir yang beliau menggaruk kepalanya, maka beliau berkata: “Sekiranya saya tahu engkau memandang (ke kamarku) maka akan kutusukkan sisir ini ke matamu, sesungguhnya diberlakukannya meminta izin itu karena alasan pandangan.” (HR Bukhari Muslim)

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya meminta izin disebabkan karena hal memandang dan adapun larangan memandang ke dalam rumah orang tanpa memberitahu pemiliknya karena dikhawatirkan ia akan melihat hal-hal yang haram.” (Fathul Bari: 11/221)

# Dari Jarir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu:

سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِيْ

“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam tentang memandang secara tiba-tiba, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam memberi perintah kepadaku: “Palingkanlah pandanganmu.” (HR Muslim)

Syeikh Salim Al Hilali hafizhahullah berkata: “Hadits ini menjelaskan bahwa tidak ada dosa pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba (tidak disengaja) akan tetapi wajib untuk memalingkan pandangan berikutnya, karena hal itu sudah merupakan dosa.” (Bahjatun Nadzirin 3/146)

Imam An Nawawi mengatakan: “Pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba tanpa maksud tertentu pada pandangan pertama maka tak ada dosa. Adapun selain itu, bila ia meneruskan pandangannya maka hal itu sudah terhitung sebagai dosa.” (Syarh Shahih Muslim 4/197)

HUKUM MEMANDANG SELAIN MAHRAM MENURUT PENDAPAT PARA ULAMA

Dari uraian dalil Al Qur’an dan Sunnah di atas menunjukkan bahwa hukum memandang kepada selain mahram adalah haram. Dan tidak terjadi khilaf di antara para ulama akan hal itu.

Al Imam An Nawawi telah menukil kesepakatan para ulama tentang haramnya memandang kepada selain mahram dengan syahwat. (Syarh Shahih Muslim oleh An Nawawi 6/262)

Adapun khusus wanita bila memandang dengan tanpa syahwat maka terjadi perselisihan pendapat, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, bahwa: “Kebanyakan para ulama menyatakan haram bagi wanita memandang selain mahramnya baik dengan syahwat ataupun tanpa syahwat dan sebagian lagi dari mereka menyatakan bahwa haram wanita memandang dengan syahwat, adapun tanpa syahwat maka hal itu boleh. (Tafsir Ibnu Katsir 3/354)

Adapun dalil pendapat Jumhur Ulama yang menyatakan haram memandang secara mutlak adalah:

# Surah An Nur: 31, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya.”

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini bahwa ayat ini merupakan dalil akan haramnya wanita memandang kepada selain mahram. (Tafsir Ibnu Katsir 3/345).

Dan berkata Muhammad Ibnu Yusuf Al Andalusi dalam Tafsirnya (Tafsirul Bahrul Muhit: 6/411) dan Imam Asy Syaukani (Fathul Qadir: 4/32): “Bahwa surah An Nur ayat 31 ini sebagai taukid (penguat) ayat sebelumnya yaitu An Nur ayat 30, bahwa hukum laki-laki memandang kepada selain mahram adalah haram secara mutlak maka begitupun hukum wanita memandang kepada selain mahram adalah haram secara mutlak pula.”

# Dan hadits Ummu Salamah:

كُنْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ مَيْمُوْنَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ احْتَجِبَا مِنْهُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَفَعُمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ

“Pernah aku bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam dan Maimunah ada disisinya, maka datanglah Ibnu Ummi Maktum dan pada saat itu kami telah diperintah untuk berhijab, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berkata: “Berhijablah kalian darinya,” maka kami mengatakan: “Bukankah Ibnu Ummi Maktum buta, tidak melihat dan tidak mengenal kami?” maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berkata: “Apakah kalian berdua buta? bukankah kalian berdua dapat melihatnya?” (HR Abu Dawud no. 4112, At Tirmidzi no. 2778, An Nasa’i dalam Al Kubra no. 9241, Ahmad 6/296, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 6922, Ibnu Hibban sebagaimana Al Ihsan no. 5575-5576, Al Baihaqi 7/91, Ath Thabarani 23/no. 678, Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat 8/175,178, Al Khatib Al Baghdadi dalam Tarikhnya 3/17-18, 8/338 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid 19/155)

Tapi hadits ini ada kelemahan di dalamnya yaitu seorang rawi yang bernama Nabhan maula Ummu Salamah dan ia ini adalah seorang rawi yang majhul. Karena itu hadits ini dilemahkan oleh syeikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 1806.

Imam An Nawawi berkata: ada dua pendapat dalam masalah hukum wanita memandang tanpa dengan syawat, dan yang rojih dalam masalah ini adalah haram, berdasarkan dalil Surah An Nur: 31. Dan dalil yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Ummi Salamah dan beliau berkata bahwa haditsnya hasan. (Lihat Syarah Muslim oleh An Nawawi 6/262)

Adapun dalil yang digunakan oleh orang-orang yang membolehkan wanita memandang kepada selain mahram tanpa syahwat adalah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْمُ عَلَى بَابِ حُجْرَتِيْ وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُوْنَ بِحِرَابِهِمْ فِيْ مَسْجِدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِيْ بِرِدَائِهِ لِكَيْ أَنْظُرُ إِلَى لَعْبِهِمْ

“Aku melihat Rasullullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam di pintu kamarku dan orang-orang Habasyah bermain dalam masjid Rasullullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam, (beliau) menghijabiku dengan rida’nya supaya aku dapat melihat permainan mereka.” (HR Bukhari-Muslim)

Akan tetapi tidak ada pendalilan (alasan) bagi mereka dalam hadits ini untuk membolehkan memandang kepada laki-laki yang bukan mahram tanpa syahwat. Dan penjelasan hal tersebut sebagai berikut:

Berkata Imam An Nawawi (Syarh Muslim 6/262): “Adapun hadits yang menceritakan tentang ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat orang-orang Habasyah bermain dalam masjid memiliki beberapa kemungkinan, antara lain saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha belum mencapai masa baligh.”

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar (Al Fath 2/445): “Dalam hadits ‘Aisyah tersebut kemungkinan saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha hanya bermaksud melihat permainan mereka bukan wajah dan badannya dan bila ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sampai melihat mereka maka hal itu terjadi secara tiba-tiba dan tentunya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha akan memalingkan pandangannya setelah itu.”

Kemungkinan lainnya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat orang-orang Habasyah bermain dalam masjid dari jarak jauh karena dalam hadits itu diceritakan bahwa ‘Aisyah berada dalam kamarnya sedangkan orang-orang Habasyah bermain dalam masjid. Wallahu a’lam.

SYUBHAT YANG TERJADI SEKITAR HUKUM MEMANDANG

1. Tentang boleh atau tidaknya jika hal yang dipandang itu di dalam televisi, majalah atau koran.

Maka dijawab bahwa tidak ada perbedaan melihat di televisi, majallah dan lain-lain, karena ayat dan hadits-hadits yang kita sebutkan sebelumnya secara umum memerintahkan untuk menundukkan pandangan (Lajnah Fatawa oleh Syaikh Ibnu Baz).

2. Pandangan pertama adalah rahmat.

Hal ini tidak betul, sebab dalam hadits Jarir yang telah lalu diceritakan ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam ditanya tentang memandang secara tiba-tiba (tidak disengaja) yang terjadi pada awal kali memandang, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam memerintahkan untuk memalingkan pandangan itu. Maka tentunya memandang dengan sengaja adalah dosa walaupun terjadi pada awal kali memandang.

3. Melihat ciptaan Allah adalah ibadah.

Ibnu Taymiyah berkata: “Siapa yang berkata bahwa melihat kepada ciptaan Allah adalah ibadah termasuk melihat kepada yang haram (yang bukan mahramnya), ini berarti dia telah menyatakan bahwa perbuatan keji itu adalah ibadah. Ini adalah perkataan kufur dan murtad sebagaimana ayat:

قُلْ إِنَّ اللهَ لاَ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan perkataan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS Al A’raf: 28)

Catatan:

Tidak bolehnya melihat kepada perempuan yang bukan mahram ini berlaku umum kecuali kalau seseorang ingin meminang maka boleh ia melihat kepada pinangannya dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh syari’at sebatas keperluan sebagaimana yang dijelaskan dalam dalil-dalil yang sangat banyak. Wallahu a’lam.

HUKUM BERJABAT TANGAN DENGAN SELAIN MAHRAM

Adapun hukum berjabat tangan dengan selain mahram adalah haram, dalilnya sangat jelas, antara lain:

# Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhari-Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam menegaskan:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zananya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan.”

Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim (16/316) menjelaskan: “Hadits ini menerangkan bahwa haramnya memegang dan menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar untuk melakukan zina kemaluan.”

# Hadits Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu:

لَأَنْ يُطْعَنُ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HSR Ar Ruyani dalam Musnadnya no.1282, Ath Thobrani 20/no. 486-487 dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 4544 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 226)

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram adalah dosa besar (Nashihati lin Nisa hal.123)

Berkata Asy Syinqithi (Adwa’ Al Bayan 6/603): “Tidak ada keraguan bahwa fitnah yang ditimbulkan akibat menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih kuat dibanding fitnah memandang.”

Berkata Abu ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali Al Makky Al Haitami (Az Zawajir 2/4) bahwa: “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram adalah termasuk dosa besar.”

# Hadits Amimah bintu Raqiqoh radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:

إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

“Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita.” (HSR Malik no. 1775, Ahmad 6/357, Ishaq Ibnu Rahaway dalam Musnadnya 4/90, ‘Abdurrazzaq no. 9826, Ath Thoyalisi no. 1621, Ibnu Majah no. 2874, An Nasa’i 7/149, Ad Daraquthni 4/146-147, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al Ihsan no. 4553, Al Baihaqi 8/148, Ath Thabari dalam Tafsirnya 28/79, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al Ahad wal Matsani no. 3340-3341, Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqot 8/5-6, Ath Thobarani 24/no. 470,472,473 dan Al Khallal dalam As Sunnah no. 45. Dan dihasankan oleh Al Hafizh dalam Fathul Bari 12/204, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 529 dan Syaikh Muqbil dalam Ash Shahih Al Musnad Mimma Laisa Fii Ash Shahihain. Dan hadits ini mempunyai syahid dari hadits Asma’ binti Yazid diriwayatkan oleh Ahmad 6/454,479, Ishaq Ibnu Rahawaih 4/182-183, Ath Thabarani 24/no. 417,456,459 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid 12/244. Dan di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syahr bin Hausyab dan ia lemah dari sisi hafalannya namun bagus dipakai sebagai pendukung)

Berkata Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid 12/243: “Dalam perkataan beliau “aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita” ada dalil tentang tidak bolehnya seorang lelaki bersentuhan dengan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya-pent.) dan menyentuh tangannya dan berjabat tangan dengannya.”

# Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam riwayat Bukhari-Muslim, beliau berkata:

وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ فِي الْمُبَايَعَةِ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ

“Demi Allah tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah menyentuh tangan wanita dalam berbai’at, beliau hanya membai’at mereka dengan ucapan.”

Berkata Imam An Nawawi (Syarh Muslim 13/16): “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at wanita dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan.”

Berkata Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir 4/60): “Hadits ini sebagai dalil bahwa bai’at wanita dengan ucapan tanpa dengan menyentuh tangan.”

Jadi bai’at terhadap wanita dilakukan dengan ucapan tidak dengan menyentuh tangan. Adapun asal dalam berbai’at adalah dengan cara menyentuh tangan sebagaimana Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam membai’at para shahabatnya dengan cara menyentuh tangannya. Hal ini menunjukkan haramnya menyentuh/berjabat tangan kepada selain mahram dalam berbai’at, apalagi bila hal itu dilakukan bukan dengan alasan bai’at tentu dosanya lebih besar lagi.

SYUBHAT-SYUBHAT YANG TERSEBAR DALAM MENYENTUH/BERJABAT TANGAN DENGAN SELAIN MAHRAM

1. Boleh menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram dengan dalil 2 hadits dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha:

فَمَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ مِنْ خَارِجِ الْبَيْتِ وَمَدَدْنَا أَيْدِيَنَا مِنْ دَاخِلِ الْبَيْتِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ اشْهَدْ

“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam memanjangkan tangannya dari luar rumah dan kamipun memanjangkan tangan kami dari dalam rumah kemudian beliau berkata: “Ya Allah, saksikanlah.”

Dan juga beliau berkata dalam riwayat Bukhari:

بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْنَا أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَنَهَانَا عَنْ النِّيَاحَةِ فَقَبَضَتْ امْرَأَةٌ يَدَهَا…

“Kami berbai’at kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam, maka beliau membacakan kepada kami ayat ((Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu pun)) dan melarang kami dari meraung (sewaktu kematian), maka wanita (itupun) memegang tangannya…”

BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT:

> Hadits pertama kata Al Hafizh Ibnu Hajar diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Bazzar, Ath Thabari dan Ibnu Mardaway dari jalan Isma’il bin ‘Abdirrahman dan dia ini kata Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah 2/65 laisa bimasyhur (tidak terkenal) maka beliau hukumi haditsnya sebagai hadits laisa bil qawy (tidak kuat).

> Kata Al hafizh Ibnu Hajar bahwa mereka memanjangkan tangan dari belakang hijab, itu sebagai isyarat bahwa bai’at telah terjadi walaupun tidak berjabat tangan.

> Dalam hadits pertama ini tidak ada kepastian bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam menyentuh/berjabat tangan dengan wanita, bahkan yang dipahami dalam hadits itu Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam hanya memanjangkan tangannya.

> Pada hadits kedua, dimaksud yang memegang tangannya adalah tangan wanita itu sendiri bukan tangan Rasulullah.

> Kemudian dalam dua hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al Albani rahimahullah bukan pernyataan yang shorih (tegas, jelas) bahwa para wanita ini berjabat tangan dengan beliau maka tidak boleh hadits yang seperti ini menggugurkan kandungan dari hadits Amimah bintu Raqiqah dan hadits ‘Aisyah yang jelas menyatakan bahwa rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam sama sekali tidak pernah berjabat dan menyentuh tangan wanita baik dalam bai’at maupun di luar bai’at.

2. Boleh menyentuh/berjabat tangan bila dilapisi dengan kain atau semacamnya,dengan dalil hadits Sya’bi radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَايَعَ النِّسَاءَ أُتِيَ بِثَوْبٍ قَطْرٍ فَوَضَعَهَا عَلَى يَدِهِ وَقَالَ أَنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

“Bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam ketika beliau membai’at para wanita, beliau diberi kain sutra, kemudian beliau meletakkannya atas di tangannya dan berkata: “Saya tidak berjabat tangan dengan wanita.”

BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT:

> Hadits ini mursal (dha’if). Dikeluarkan dari ‘Abdurrazzaq dari jalan An Nakha’i dengan mursal. Dan dari Ibnu Manshur dari jalan Qois Abi Hazm dengan jalan mursal. Karena hadits lemah, maka dikembalikan kepada hadits yang secara umum menyatakan haramnya menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram, apakah dengan memakai pelapis/pembatas atau tidak. (Lihat Al Fatawa Wa Ar Rasa’il Lin Nisa’i karya Syaikh ‘Utsaimin hal. 10 dan Nashihati Lin Nisa’ oleh Ummu ‘Abdillah binti Muqbil bin Hadi Al Wadi’i hal. 14)

3. Boleh menyentuh/berjabat tangan dengan orang yang sudah tua

BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT:

> Hal ini telah ditanyakan kepada Syaikh bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin rahimahumallah dan beliau menjawab bahwa tidak ada perbedaan dalam hal ini apakah orang yang dijabat tangani sudah tua atau belum, karena hadits-hadits yang menyebutkan bahaya dan fitnah yang ditimbulkan tidak membedakannya. Kemudian kata Syaikh batas orang tua ataupun muda, berbeda menurut penilaian masing-masing orang. (Lihat Fatwa Syaikh bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin)

Wallahu a’lam bishshawab.

4. Saya berjabat tangan kepada selain mahram itu karena niat yang baik.

BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT:

Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman:

وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu pasti berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan sholeh.” (QS Al ‘Ashr : 1-3)

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk-bentuk dan harta-harta kalian tetapi Allah melihat kepada hat-hati dan amalan-amalan kalian.” (HSR Muslim)

Berkata Al Imam Al Ajurri di kitab Asy Syari’ah hlm. 128: “Amalan yang dilakukan oleh anggota tubuh sebagai pembenaran iman yang ada dalam hati, maka barangsiapa yang tidak beramal tidak dikatakan sebagai orang yang beriman bahkan meninggalkan amalan adalah pendustaan terhadap imannya kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ.

Wallahu a’lam bishshawab.

KESIMPULAN:

Dari uraian dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah di atas maka telah jelas bagi kita tentang larangan memandang dan berjabat tangan kepada selain mahram. Bahwa hukum memandang dan berjabat tangan kepada selain mahram adalah haram.

Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.

Sumber: Majalah An-Nashihah volume 04 Tahun 1/1423 H/2002 M halaman 58-66, dengan perbaikan ejaan dan ketikan.

http://ummuyahya.wordpress.com/2010/02/20/hukum-memandang-dan-berjabat-tangan-dengan-selain-mahram/

Kamis, 18 Februari 2010

Siapakah Mahrammu?

Siapakah Mahrammu?

Oleh: Al Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi

Pertanyaan:

Siapakah yang merupakan mahram?

Jawab:

Mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab atau hubungan susuan atau karena ada ikatan perkawinan. Lihat Ahkâm An Nazhar Ilâ Al Muharramât hlm. 32.

Adapun ketentuan siapa yang mahram dan yang bukan mahram telah dijelaskan dalam Al Qur’an Surah An Nisâ’ ayat 23:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُ خْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَآئِبِكُمُ اللاَّتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِنْ نِسَآئِكُمُ اللاَّتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْراً رَحِيْماً.

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak-anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuai yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS An Nisâ’: 23)

Di dalam ayat ini disebutkan beberapa orang mahram yaitu:

Pertama: أُمَّهَاتُكُمْ (ibu-ibu kalian). Ibu dalam bahasa Arab artinya setiap yang nasab lahirmu kembali kepadanya. Defenisi ini akan mencakup:

1. Ibu yang melahirkanmu.

2. Nenekmu dari ayah maupun dari ibumu.

3. Nenek ayahmu dari ayah maupun ibunya.

4. Nenek ibumu dari ayah maupun ibunya.

5. Nenek buyut ayahmu dari ayah maupun ibunya.

6. Nenek buyut ibumu dari ayah maupun ibunya.

7. dan seterusnya ke atas.

Kedua: وَبَنَاتُكُمْ (anak-anak perempuan kalian). Anak perempuan dalam bahasa arab artinya setiap perempuan yang nisbah kelahirannya kembali kepadamu. Defenisi ini akan mencakup:

1. Anak perempuanmu.

2. Anak perempuan dari anak perempuanmu (cucu).

3. Anaknya cucu.

4. dan seterusnya ke bawah.

Ketiga: وَأَخَوَاتُكُمْ (saudara-saudara perempuan kalian). Saudara perempuan ini meliputi:

1. Saudara perempuan seayah dan seibu.

2. Saudara perempuan seayah saja.

3. dan saudara perempuan seibu saja.

Keempat: وَعَمَّاتُكُمْ (saudara-saudara perempuan ayah kalian). Masuk dalam kategori saudara perempuan ayah:

1. Saudara perempuan ayah dari satu ayah dan ibu.

2. Saudara perempuan ayah dari satu ayah saja.

3. Saudara perempuan ayah dari satu ibu saja.

4. Masuk juga di dalamnya saudara-saudara perempuan kakek dari ayah maupun ibumu.

5. dan seterusnya ke atas.

Kelima: وَخَالاَتُكُمْ (saudara-saudara perempuan ibu kalian). Yang masuk dalam saudara perempuan ibu sama seperti yang masuk dalam saudara perempuan ayah yaitu:

1. Saudara perempuan ibu dari satu ayah dan ibu.

2. Saudara perempuan ibu dari satu ayah saja.

3. Saudara perempuan ibu dari satu ibu saja.

4. Saudara-saudara perempuan nenek dari ayah maupun ibumu.

5. dan seterusnya ke atas.

Keenam: وَبَنَاتُ الْأَخِ (anak-anak perempuan dari saudara laki-laki). Anak perempuan dari saudara laki-laki mencakup:

1. Anak perempuan dari saudara laki-laki satu ayah dan satu ibu.

2. Anak perempuan dari saudara laki-laki satu ayah saja.

3. Anak perempuan dari saudara laki-laki satu ibu saja.

4. Anak-anak perempuan dari anak perempuannya saudara laki-laki.

5. Cucu perempuan dari anak perempuannya saudara laki-laki.

6. dan seterusnya ke bawah.

Ketujuh: وَبَنَاتُ الْأُخْتِ (anak-anak perempuan dari saudara perempuan). Ini sama dengan anak perempuan saudara laki-laki, yaitu meliputi:

1. Anak perempuan dari saudara perempuan satu ayah dan ibu.

2. Anak perempuan dari saudara perempuan satu ayah saja.

3. Anak perempuan dari saudara perempuan satu ibu saja.

4. Anak-anak perempuan dari anak perempuannya saudara perempuan.

5. Cucu perempuan dari anak perempuannya saudara perempuan.

6. dan seterusnya ke bawah.

Catatan Penting:

Tujuh yang tersebut di atas adalah mahram karena nasab. Sehingga kita bisa mengetahui bahwa ada empat orang yang bukan mahram walaupun ada hubungan nasab, mereka itu adalah:

1. Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ayah (sepupu).

2. Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibu (sepupu).

3. Anak-anak perempuan dari saudara perempuan ayah (sepupu).

4. Anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibu (sepupu).

Mereka ini bukanlah mahram dan boleh dinikahi.

Kedelapan: وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ(ibu-ibu yang menyusui kalian). Yang termasuk ibu susuan adalah:

1. Ibu susuan itu sendiri.

2. Ibunya ibu susuan.

3. Neneknya ibu susuan.

4. dan seterusnya ke atas.

Catatan Penting:

Kita melihat bahwa dalam ayat ini ibu susuan dinyatakan sebagai mahram, sementara menurut ulama, pemilik susu adalah suaminya karena sang suamilah yang menjadi sebab istrinya melahirkan sehingga mempunyai air susu. Maka disebutkannya ibu susuan sebagai mahram dalam ayat ini adalah merupakan peringatan bahwa sang suami adalah sebagai ayah bagi anak yang menyusu kepada istrinya. Dengan demikian anak-anak ayah dan ibu susuannya baik yang laki-laki maupun yang perempuan dianggap sebagai saudaranya (sesusuan), dan demikian pula halnya dengaan saudara-saudara dari ayah dan ibu susuannya baik yang laki-laki maupun yang perempuan dianggap sebagai paman dan bibinya. Karena itulah Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam menetapkan di dalam hadits beliau yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Imam Muslim dari hadits ‘A’isyah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhuma:

إِنَّهُ يُحْرَمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يُحْرَمُ مِنَ النَّسَبِ

“Sesungguhnya menjadi mahram dari susuan apa-apa yang menjadi mahram dari nasab.”

Kesembilan: وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ (dan saudara-saudara perempuan kalian dari susuan). Yang termasuk dalam kategori saudara perempuan sesusuan adalah:

1. Perempuan yang kamu disusui oleh ibunya (ibu kandung maupun ibu tiri).

2. Atau perempuan itu menyusu kepada ibumu.

3. Atau kamu dan perempuan itu sama-sama menyusu pada seorang perempuan yang bukan ibu kalian berdua.

4. Atau perempuan yang menyusu kepada istri yang lain dari suami ibu susuanmu.

Kesepuluh: وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ (dan ibu istri-istri kalian) ibu istri mencakup ibu dalam nasab dan seterusnya keatas dan ibu susuan dan seterusnya ke atas. Mereka ini menjadi mahram bila/dengan terjadinya akad nikah antara kalian dengan anak perempuan mereka, walaupun belum bercampur.

Tidak ada perbedaan antara ibu dari nasab dan ibu susuan dalam kedudukan mereka sebagai mahram. Demikian pendapat jumhur ulama seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Jabir, dan Imran bin Husain dan juga pendapat kebanyakan para tabi’in dan pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Ashhab Ar Ro’y yang mana mereka berdalilkan dengan ayat ini, oleh karena itu kita tidak bisa menerima perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menyatakan bolehnya seorang lelaki menikah dengan ibu susuan istrinya dan saudara sesusuan istrinya. Wallâhu a’lam.

Kesebelas: مِنْ نِسَآئِكُمُ اللاَّتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ (anak-anak istrimu (Ar Rabâ’ib) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya)

Ayat ini menunjukkan bahwa Ar Rabâ’ib adalah mahram. Dan menurut bahasa Arab Ar Rabâ’ib ini mencakup:

1. Anak-anak perempuan istrimu.

2. Anak-anak perempuan dari anak-anak istrimu (cucu perempuannya istri).

3. Cucu perempuan dari anak-anak istrimu.

4. dan seterusnya ke bawah.

Tapi Ar Rabâ’ib ini dalam ayat ini menjadi mahram dengan syarat apabila ibunya telah digauli adapun kalau ibunya diceraikan atau meninggal sebelum digauli oleh suaminya maka Ar Rabâ’ib ini bukan mahram suami ibunya bahkan suami ibunya itu bisa menikahi dengannya. Dan ini merupakan pendapat Jumhur Ulama seperti Imam Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan lain-lainnya. Hal ini berdasarkan zhahir ayat:

مِنْ نِسَآئِكُمُ اللاَّتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ

“Dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.”

Adapun yang tersebut di ayat (Ar Rabâ’ib yang dalam pemeliharaanmu) kata “dalam pemeliharaanmu” dalam ayat ini bukanlah sebagai syarat untuk dianggapnya Ar Rabâ’ib itu sebagai mahram. Semua Ar Rabâ’ib baik yang dalam pemeliharaan maupun yang diluar pemeliharaan adalah mahram menurut pendapat jumhur ulama. Jadi kata “dalam pemeliharaanmu” hanya menunjukkan bahwa kebanyakan Ar Rabâ’ib itu dalam pemeliharaan atau hanya menunjukkan dekatnya Ar Rabâ’ib tersebut dengan ayahnya. Dengan demikian nampaklah hikmah kenapa Ar Rabâ’ib menjadi mahram. Wallâhu a’lam.

Keduabelas: وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ (istri-istri anak-anak kandungmu (menantu).

Ini meliputi:

1. Istri dari anak kalian.

2. Istri dari cucu kalian.

3. Istri dari anaknya cucu.

4. dan seterusnya ke bawah baik dari nasab maupun sesusuan.

Mereka semua menjadi mahram setelah akad nikah dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam hal ini.

Lihat pembahasan di atas dalam: Al Mughni 9/513-518, Al Ifshâh 8/106-110, Al Inshâf 8/113-116, Majmu’ Al Fatâwâ 32/62-67, Al Jâmi’ Lil Ikhtiyârât Al Fiqhiyyah 2/589-592, Zâdul Ma’âd 5/119-124, Taudhîl Al Ahkâm 4/394-395, Tafsir Al Qurthubi 5/105-119, Taisir Al Karîm Ar Rahmân.

Catatan:

Demikian mahram dalam surah An Nisâ’. Tapi perlu diingat, pembicaraan dalam ayat ini walaupun ditujukan langsung kepada laki-laki dan menjelaskan rincian siapa yang merupakan mahram bagi mereka, ini tidaklah menunjukkan bahwa di dalam ayat ini tidak dijelaskan tentang siapa mahram bagi perempuan. Karena mafhûm mukhâlafah (pemahaman kebalikan) dari ayat ini menjelaskan hal tersebut.

Misalnya disebutkan dalam ayat: “Diharamkan atas kalian ibu-ibu kalian”, maka mafhûm mukhâlafahnya adalah: “Wahai para ibu, diharamkan atas kalian menikah dengan anak-anak kalian.”

Misal lain, disebutkan dalam ayat: “Dan anak-anak perempuan kalian.” Maka mafhûm mukhâlafahnya adalah: “Wahai anak-anak perempuan diharamkan atas kalian menikah dengan ayah-ayah kalian.” Dan demikian seterusnya.

Sebagai pelengkap dari pembahasan ini, kami sebutkan ayat dalam surah An Nûr ayat 31:

وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أو أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِيْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِيْ أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرَ أُوْلِي الإِْ رْبَةِ مِنَ الرَّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ اللَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ

“Janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki mereka yang tidak mempunyai keinginan (kepada wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat.”

Demikianlah, mudah-mudahan jawaban ini bermanfaat. Wa akhiru da’wâna ‘anilhamdu lillahi Rabbil ‘âlamin.

Sumber: Majalah An-Nashihah volume 01 Tahun 1/1422 H/2001 M halaman 51-56, dengan perbaikan ejaan dan ketikan.

http://ummuyahya.wordpress.com/2010/02/18/siapakah-mahrammu/

Rabu, 17 Februari 2010

Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Siapakah Mereka?

Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Siapakah Mereka?

Penulis: Al Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi

Mengetahui siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah perkara yang sangat penting dan salah satu bekal yang harus ada pada setiap muslim yang menghendaki kebenaran sehingga dalam perjalanannya di muka bumi ia berada di atas pijakan yang benar dan jalan yang lurus dalam menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan tuntunan syariat yang hakiki yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam empat belas abad yang lalu.

Pengenalan akan siapa sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah ditekankan sejak jauh-jauh hari oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya ketika beliau berkata kepada mereka:

افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah”. Hadits shohih dishohihkan oleh oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain -rahimahumullahu-.

Demikianlah umat ini akan terpecah, dan kebenaran sabda beliau telah kita saksikan pada zaman ini yang mana hal tersebut merupakan suatu ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Kuasa dan merupakan kehendak-Nya yang harus terlaksana dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mempunyai Hikmah di belakang hal tersebut.

Syaikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan -hafidzahullahu- menjelaskan hikmah terjadinya perpecahan dan perselisihan tersebut dalam kitab Lumhatun ‘Anil Firaq cet. Darus Salaf hal.23-24 beliau berkata : “(Perpecahan dan perselisihan-ed.) merupakan hikmah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala guna menguji hamba-hambaNya hingga nampaklah siapa yang mencari kebenaran dan siapa yang lebih mementingkan hawa nafsu dan sikap fanatisme.

ألم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُوْلُوْا آمَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُون وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِين(العنكبوت 1-3 َ

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah Maha Mengetahui orang-orang yang benar dan sungguh Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-‘Ankabut : 29 / 1-3).

Dan Allah berfirman :

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan : “Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”. (QS. Hud : 10 / 118-119)

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَمَعَهُمْ عَلَى الْهُدَى فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْجَاهِلِينَ (اللأنعام : 35)

Dan kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil”. (QS. Al-‘An’am : 6 / 35).”

Dan Allah ’Azza wa Jalla Maha Bijaksana dan Maha Merahmati hambaNya. Jalan kebenaran telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya sebagaimana dalam sabda Rasululullah Shallallahu`alaihi wasallam:

قَدْْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ

“Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas petunjuk yang sangat terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang darinya setelahku kecuali orang yang binasa”. Hadits Shohih dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalul Jannah.

Dan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- :

خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلاَ ] وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ [

“Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggaris di depan kami satu garisan lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan-jalan, yang di atas setiap jalan ada syaithon menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca (ayat) : “Dan sesungguhnya ini adalah jalanKu maka ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) maka kalian akan terpecah dari jalanNya”.

Sumber: Majalah An Nashihah volume 01 Tahun 1/1422 H/2001 M halaman 10-18