Senin, 08 Maret 2010

Hukum Khalwat, Ikhtilath, dan Tabarruj

Oleh: Al Ustadz Abul Fadhl Shobaruddin bin Arif

Pertanyaan:

Budaya khalwat, ikhtilath dan tabarruj sudah menjadi corak kehidupan banyak perempuan masa kini. Jelaskan hukum syari’at dalam hal tersebut!

Jawab:

Allah subhânahu wa ta’âlâ telah mengutus Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam dengan membawa petunjuk dan agama yang lurus untuk mengeluarkan manusia dari keadaan yang gelap gulita kepada keadaan yang penuh dengan cahaya yang terang benderang. Dan Allah subhânahu wa ta’âlâ telah mengutus Nabi-Nya sebagai penyeru dan penyempurna akhlaq yang mulia. Dan tidak diragukan lagi bahwa di antara akhlaq yang mulia adalah adanya rasa malu, yang mana Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam mengatakan bahwa malu adalah termasuk dari cabang keimanan.

Dan secara umum kehidupan seorang muslim dan muslimah yang berpegang teguh kepada agamanya adalah kehidupan yang dibangun di atas dasar ibadah kepada Allah, menjaga kesucian diri, menjaga kemuliaan dan ghirah dan menjaga rasa malu.

Namum sangatlah disayangkan bahwa prinsip kehidupan tersebut banyak dilupakan atau tidak disadari oleh banyak perempuan muslimah saat ini. Corak pergaulan dan pakaian banyak perempuan saat ini adalah bentuk dari gaya jahiliyah yang dicontoh dari negeri kafir sehingga banyak dari perempuan sama sekali tidak menunjukkan ciri seorang perempuan muslimah yang penuh adab dan akhlak yang mulia dengan pakaian yang mencocoki syari’at dan menggambarkan rasa malu serta menjaga aurat sebagai hiasan perempuan shalihah yang merupakan dambaan setiap insan.

Dan yang lebih mengerikan lagi, ternyata fitnah perempuan pada zaman ini telah menimbulkan berbagai macam kerusakan, dan telah menyebabkan tersebarnya berbagai bentuk kekejian dan kemungkaran. Maka wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk saling nasihat-menasihati dan saling berwasiat dalam kebenaran untuk menjaga diri kita semua dari jurang api neraka. A’adzanallâhu wa iyyâka minannâr.

Berikut ini uraian tiga permasalahan di atas dengan harapan bisa mengokohkan perempuan mu’minah diatas kemulian dan kehormatan dan untuk merontokkan segala slogan dan seruan para pengekor syahwat dan syaithan yang ingin menjatuhkan mereka dalam jurang kehinaan dan kenistaan. Wallâhul Muwaffiq.

HUKUM KHALWAT

Pengertian Khalwat

Khalwat adalah seorang laki-laki berada bersama perempuan yang bukan mahramnya dan tidak ada orang ketiga bersamanya. (Lihat Al Mar’atul Muslimah Baina Ijtihâdil Fuqahâ’ wa Mumârasât Al Muslimîn hal. 111)

Khalwat adalah perkara yang diharamkan dalam agama ini, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil.

Di antara dalil-dali itu adalah sebagai berikut:

Satu: Hadits ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Bukhari-Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ.

“Hati-hati kalian terhadap masuk (bertemu) dengan para perempuan. Maka berkata seorang lelaki dari Anshar: “Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu dengan Al Hamwu?” Beliau berkata: “Al Hamwu adalah maut.”

Imam Muslim mengeluarkan dengan sanad yang shahih dari Al Lais bin Sa’ad Ahli Fiqh negeri Mesir rahimahullah, Beliau berkata: “Al Hamwu adalah saudara laki-laki suami dan yang serupa dengannya dari kerabat sang suami; Anak paman dan yang semisalnya.”

Berkata Imam Nawawi: “Sepakat ahli bahasa bahwa makna Al Hamwu adalah kerabat suami sang istri seperti bapaknya, Ibunya, saudara laki-lakinya, anak saudara laki-lakinya, anak pamannya dan yang semisalnya.”

Kemudian Imam An Nawawi berkata: “Dan yang diinginkan dengan Al Hamwu disini (dalam hadits di atas, -pent.) adalah kerabat suami selain bapak-bapaknya dan anak-anaknya. Adapun bapak-bapak dan anak-anaknya, mereka adalah mahram bagi istrinya, boleh bagi mereka ber-khalwat dengannya dan tidaklah mereka disifatkan sebagai maut.” Baca: Syarah Shahîh Muslim 14/154.

Adapun sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam: “Al Hamwu adalah maut,” ada beberapa penjelasan dari para ‘ulama tentang maksudnya:

  1. Maksudnya bahwa ber-khalwat dengan Al Hamwu akan mengantar kepada kehancuran agama seseorang yaitu dengan terjatuhnya ke dalam maksiat, atau mengantar kepada mati itu sendiri yaitu apabila ia melakukan maksiat dan mengakibatkan ia dihukum rajam, atau bisa kehancuran bagi perempuan itu sendiri yaitu ia akan diceraikan oleh suaminya bila sebab kecemburaannya.
  2. Berkata Ath Thobari: “Maknanya adalah seorang lelaki ber-khalwat dengan istri saudara laki-lakinya atau (istri) anak saudara laki-lakinya kedudukannya seperti kedudukan maut dan orang Arab mensifatkan sesuatu yang tidak baik dengan maut.”
  3. Ibnul ‘A’rabi menerangkan bahwa orang Arab kalau berkata: “Singa adalah maut” artinya berjumpa dengan singa adalah maut yaitu hati-hatilah kalian dari singa sebagaimana kalian hati-hati dari maut.
  4. Berkata pengarang Majma’ Al Gharâ’ib: “Yaitu tidak boleh seorangpun ber-khalwat dengannya kecuali maut.”
  5. Berkata Al Qodhi ‘Iyadh: “Maknanya bahwa ber-khalwat dengan Al Hamwu adalah pengantar kepada fitnah dan kebinasaan.”
  6. Berkata Al Qurthubi: “Maknanya bahwa masuknya kerabat suami (bertemu) dengan istrinya menyerupai maut dalam jeleknya dan rusaknya yaitu hal tersebut diharamkan (dan) dimaklumi pengharamannya.”

Lihat: Fathul Bari 9/332 karya Al Hafizh Ibnu Hajar dan Syarah Shahîh Muslim karya Imam An Nawawi 14/154.

Dua: Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Bukhari, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berkata:

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ امْرَأَتِيْ خَرَجَتْ حَاجَّةً وَاكْتُتِبْتُ فِيْ غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا قَالَ ارْجِعْ فَحَجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ.

“Janganlah seorang laki-laki ber-khalwat dengan perempuan kecuali bersama mahramnya. Maka berdirilah seorang lelaki lalu berkata: “Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk haji dan saya telah terdaftar di perang ini dan ini.” Beliau berkata: “Kembalilah engkau, kemudian berhajilah bersama istrimu.”

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathur Bari (4/ 32–87): “Hadist ini menunjukkan pengharaman khalawat antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak semahram, dan hal ini disepakati oleh para ‘ulama dan tidak ada khilaf di dalamnya.”

Tiga: Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ.

“Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan perempuan karena yang ketiga bersama mereka adalah syaithan.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam Ash Shahîhah no. 430)

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni 9/490 setelah tentang disyari’atkannya melihat kepada perempuan yang dipinang, beliau menjelaskan beberapa hukum yang berkaitan dengannya, di antaranya beliau berkata: “Dan tidak boleh ber-khalwat dengannya karena khalwat adalah haram dan tidak ada dalam syari’at (pembolehan) selain dari melihat karena dengan khalwat itu tidak ada jaminan tidak terjatuh ke dalam hal yang terlarang.”

Empat: Hadist Jabir yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:

أَلَا لَا يَبِيْتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيِّبٍ إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ نَاكِحًا أَوْ ذَا مَحْرَمٍ.

“Janganlah seorang laki-laki bermalam di tempat seorang janda kecuali ia telah menjadi suaminya atau sebagai mahramnya.”

Imam An Nawawi berkata dalam Syarah Shahîh Muslim (14/153): “Hadits ini dan hadits-hadits setelahnya (menunjukkan) haramnya ber-khalwat dengan perempuan ajnabiyah (bukan mahram) dan (menunjukkan) bolehnya ber-khalwat dengan siapa yang merupakan mahramnya. Dan dua perkara ini disepakai (dikalangan para ‘ulama, -pent.).”

Dan perlu diketahui bahwa pengharaman khalawat tersebut adalah berlaku umum, baik itu dirumah maupun diluar rumah serta tempat yang lainnya. Lihat Al Mufashshal Fî Ahkâmil Mar’ah (3/ 422).

Lima: Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ.

“Perempuan itu adalah aurat, kalau dia keluar maka dibuat agung/indah oleh syaithan.” (HR At Tirmidzi no. 1173 dan lain-lainnya dan dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al Jami’ Ash Shahih).

HUKUM IKHTILATH

Makna Ikhtilâth

Makna ikhtilath secara bahasa adalah bercampurnya sesuatu dengan sesuatu yang lain (Lihat: Lisanul ‘Arab 9/161-162).

Adapun maknanya secara syar’i yaitu percampurbauran antara laki-laki dan perempuan yang tidak hubungan mahram pada tempat. (Lihat: Al Mufashshal Fî Ahkâmil Mar’ah: 3/421 dan Al Mar’atul Muslimah Baina Ijtihâdil Fuqohâ’ wa Mumârasât Al Muslimin hal. 111)

Hukum Ikhtilath

Hukum ikhtilath adalah haram berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:

Satu : Firman Allah subhânahu wa ta’âlâ dalam surah Al Ahzâb ayat 33:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.”

Berkata Imam Al Qurthubi dalam menafsirakan ayat ini: “Makna ayat ini adalah perintah untuk tetap berdiam atau tinggal di rumah, walaupun yang diperintah dalam ayat ini adalah para istri Nabi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam namun secara makna masuk pula selain dari istri-istri beliau Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam.” (Lihat Tafsirul Qurthubi: 4/179)

Dan Ibnu Katsir berkata tentang makna ayat ini: “Tinggallah kalian di rumah-rumah kalian, janganlah kalian keluar kecuali bila ada keperluan.”

Dua: Firman Allah ‘Azza Wa Jalla dalam surah Al Isra’ ayat 32:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا

“Dan janganlah kalian mendekati zina.”

Larangan dalam ayat ini dengan konteks “Jangan kalian mendekati” menunjukkan bahwa Al Qur’an telah mengharamkan zina begitu pula pendahuluan-pendahuluan yang dapat mengantar kepada perbuatan zina serta sebab-sebabnya secara keseluruhan seperti melihat, ikhtilath, berkhalwat, tabarruj dan lain-lain.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/39).

Tiga: Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang dikeluarkan oleh Abu Daud dengan sanad yang hasan dari seluruh jalan-jalannya, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:

لَا تَمْنَعُوْا نِسَائَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

“Janganlah kalian melarang para perempuan kalian (untuk menghadiri) mesjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.”

Dan dengan lafazh yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar pula, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:

لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ.

“Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allah yang perempuan (untuk menghadiri) mesjid-mesjid Allah.”

Hadits ini menjelaskan tentang tidak wajibnya perempuan menghadiri sholat jama’ah bersama laki-laki di masjid, ini berarti boleh bagi perempuan untuk menghadiri sholat jama’ah di masjid akan tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka. Dan para ulama fuqaha’ sepakat tentang tidak wajibnya hal tersebut. Dan sebagian dari mereka memakruhkan untuk perempuan muda, adapun untuk perempuan yang telah tua maka mereka membolehkannya dan yang rajih adalah hukumnya boleh. (Lihat: Al Mufashshal Fii Ahkâmil Mar’ah: 3/424)

Berkata Imam An Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim (2/83): “Ini menunjukkan bolehnya perempuan ke masjid untuk menghadiri sholat jama’ah, tentunya bila memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syari’at. Di antaranya tidak keluar dengan menggunakan wangi-wangian, tidak berpakaian yang menyolok dan termasuk di dalamnya tidak bercampur atau ikhtilath dengan laki-laki yang bukan mahramnya.”

Empat: Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari, beliau berkata:

اسْتَأْذَنْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ : جِهَادُكُنَّ الْحَجُّ.

“Saya meminta izin kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam untuk berjihad, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda: Jihad kalian adalah berhaji.”

Berkata Ibnu Baththal dalam Syarahnya sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (6/75-76): “Hadits ini menjelaskan bahwa jihad tidak diwajibkan bagi perempuan, hal ini disebabkan karena perempuan apabila berjihad maka tidak akan mampu menjaga dirinya dan juga akan terjadi percampurbauran antara laki-laki dan perempuan.”

Lima: Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:

خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّه‍َا أَوَّلُهَا.

“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang. Dan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang dan sejelek-jeleknya adalah yang paling awal.”

Berkata Imam An Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim: “Bahwa sesungguhnya shaf perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang dan shaf laki-laki yang paling baik adalah yang paling awalnya, hal ini dikarenakan agar keadaan shaf perempuan dan shaf laki-laki saling menjauh sehingga tidak terjadi ikhtilath dan saling memandang satu dengan yang lainnya.”

Berkata Ash Shan’ani dalam Subulus Salam: “Dalam hadits ini menjelaskan sebab sunnahnya shaf perempuan berada di belakang shof laki-laki agar supaya keadaan tempat perempuan dan laki-laki dalam sholat saling menjauh sehingga tidak terjadi ikhtilath di antara mereka.”

Berkata Asy Syaukani dalam Nailul Authar (3/189): “Penyebab kebaikan shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki adalah karena tidak terjadi iktilath antara mereka.”

Enam: Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari, beliau berkata:

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّيْ الصُّبْحَ بِغَلَسٍ فَيَنْصَرِفْنَ نِسَاءُ الْمُؤْمِنِيْنَ لَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ أَوْ لَا يَعْرِفُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا.

“Sesungguhnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam sholat Shubuh pada saat masih gelap maka para perempuan kaum mukminin kembali dan mereka tidak dikenali karena gelap atau sebagian mereka tidak mengenal sebagian yang lain.”

Hadits ini menjelaskan disunnahkannya bagi perempuan keluar dari masjid lebih dahulu daripada laki-laki ketika selesai shalat jama’ah, agar supaya tidak terjadi ikhtilath, saling pandang memandang atau hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syari’at.

Hal serupa dijelaskan pula dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha riwayat Imam Bukhari, beliau berkata:

أَنَّ النِّسَاءَ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كُنَّ إِذَا سَلَّمْنَ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ قُمْنَ وَثَبَتَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَمَنْ صَلَّى مِنَ الرِّجَالِ مَا شَاءَ اللهُ فَإِذَا قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَامَ الرِّجَالُ.

“Sesungguhnya para perempuan di zaman Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bila mereka salam dari sholat wajib, maka mereka berdiri dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam dan orang yang sholat bersama beliau dari kalangan laki-laki tetap di tempat mereka selama waktu yang diinginkan oleh Allah, bila Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berdiri maka para lelaki juga berdiri.”

Berkata Asy Syaukani dalam Nailul Authar (2/315): “Dalam hadits ini terdapat hal yang menjelaskan tentang dibencinya ikhtilath antara laki-laki dan perempuan dalam perjalanan dan hal ini lebih terlarang lagi ketika ikhtilath terjadi dalam suatu tempat.”

Berkata Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (2/560): “Jika dalam jama’ah sholat terdapat laki-laki dan perempuan maka disunnahkan bagi laki-laki untuk tidak meninggalkan tempat sampai perempuan keluar meninggalkan jama’ah sebab kalau tidak, maka hal ini dapat membawa pada ikhtilath.

Tujuh: Hadits Jabir Bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Imam Bukhari, beliau berkata:

قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَصَلَّى فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ ثُمَّ خَطَبَ فَلَمَّا فَرَغَ نَزَلَ فَأَتَى النِّسَاءَ فَذَكَّرَهُنَّ.

“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berdiri pada hari Idul Fitri untuk Sholat maka beliau pun memulai dengan sholat kemudian berkhutbah. Tatkala beliau selesai, beliau turun lalu mendatangi para perempuan kemudian memperingati (baca: menasihati) mereka.”

Berkata Al Hafizh dalam Al Fath (2/466): “Perkataan “kemudian beliau mendatangi para perempuan” menunjukkan bahwa tempat perempuan terpisah dari tempat laki-laki, tidak dalam keadaan ikhtilath.

Berkata Imam An Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim (2/535): “Hadits ini menjelaskan bahwa perempuan-perempuan apabila menghadiri sholat jama’ah di mana jama’ah tersebut dihadiri pula oleh laki-laki maka tempat perempuan berisah dari tempat laki-laki hal ini untuk menghindari fitnah, saling memandang dan berbicara.”

Beberapa Masalah Seputar Ikhtilath

1. Hukum belajar di sekolah-sekolah dan universitas yang terjadi ikhtilath di dalamnya.

Berkata syaikh Ibnu Jibrin sebagaimana dalam Fatâwâ Fî An Nazhor Wal Khalwat Wal Ikhtilath hal. 23: “Kami menasihatkan pada seorang muslim yang ingin menyelamatkan dan menjauhkan dirinya dari sebab-sebab kerusakan dan fitnah, tidak ada keraguan bahwa sesungguhnya ikhtilath di sekolah-sekolah adalah penyebab terjadinya kerusakan dan pengantar terjadinya perzinahan.”

Berkata Syaikh Al Utsaimin sebagaimana dalam kitab yang sama hal. 26: “Pendapat saya, sesungguhnya tidak boleh bagi setiap orang baik laki-laki dan perempuan untuk belajar di sekolah-sekolah yang terjadi ikhtilath di dalamnya, disebabkan karena bahaya besar akan mengancam kesucian dan akhlak mereka. Tidak ada keraguan bahwa orang yang bagaimanapun sucinya dan mempunyai akhlak yang tinggi, bagaimanapun bila di samping kursinya ada perempuan, terlebih lagi bila perempuannya cantik lalu menampakkan kecantikannya maka sangat sedikit yang bisa selamat dari fitnah dan kerusakan. Oleh karena itu segala yang membawa kepada kerusakan dan fitnah adalah haram.”

Berkata Syaikh Ibnu Bazz sebagaimana dalam kitab yang sama pula hal. 10: “Barang siapa yang mengatakan boleh Ikhtilath di sekolah-sekolah dan yang lainnya dengan alasan bahwa perintah berhijab hanya khusus untuk istri-istri Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam maka perkataan ini jauh dari petunjuk serta menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah yang telah menunjukkan hukum hijab berlaku umum, sebagaimana dalam firman Allah subhânahu wa ta’âlâ:

ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

“Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”

Dan juga kita ketahui bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam diutus oleh Allah subhânahu wa ta’âlâ untuk seluruh manusia tanpa kecuali, Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman:

قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.”

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan.”

Dan para sahabat yang mereka adalah sebaik-baik manusia dalam keimanan dan takwa dan sebaik-baik zaman, di masanya ternyata masih diperintahkan untuk berhijab demi kesucian hati-hati mereka, maka tentu orang-orang yang setelah mereka lebih membutuhkan dan lebih harus berhijab untuk mensucikan hati-hati mereka karena mereka berada pada zaman fitnah dan kerusakan.”

2. Hukum bekerja ditempat yang terjadi ikhtilath di dalamnya.

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin sebagaimana dalam Fatâwâ Fî An Nazhor Wal Khalwat Wal Ikhtilath hal. 44: “Pendapat saya, yakni tidak boleh ikhtilath antara laki-laki dan perempuan baik di instansi negeri maupun swasta, karena ikhtilath adalah penyebab terjadinya banyak kerusakan.”

Berkata para Ulama yang tergolong dalam Lajnah Dai’mah: “Adapun hukum bekerja di tempat yang (terdapat) ikhtilath adalah haram karena ikhtilath adalah penyebab kerusakan yang terjadi pada manusia.”

Berkata Syaikh Ibnu Bazz rahimahullah dalam kitab Musyarakatul Mar’ah Lir Rijâl Fî Mîdân ‘Amal hal. 7: “Bekerjanya perempuan di tempat yang terdapat laki-laki di dalamnya adalah perkara yang sangat berbahaya. Dan di antara penyebab besar munculnya kerusakan adalah disebabkan karena ikhtilath yang mana hal itu merupakan jalan-jalan yang paling banyak menyebabkan terjadinya perzinahan.”

HUKUM TABARRUJ

Makna Tabarruj

Tabarruj adalah apabila perempuan menampakkan perhiasan atau kecantikannya dan hal-hal yang indah dari dirinya kepada laki-laki yang bukan mahramnya, jadi perempuan yang ber-tabarruj adalah perempuan yang menampakkan wajahnya. Sehingga bila ada perempuan yang menampakkan atau memperlihatkan kecantikan wajah dan lehernya maka dikatakan perempuan itu ber-tabarruj. (Lihat Lisanul Arab Oleh Ibnu Manzhur: 3/33)

Tabarruj adalah perkara haram, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam.

Dan juga kaum muslimin sepakat tentang haramnya tabarruj sebagaimana yang dinukil oleh Al ‘Allamah Ash Shan’ani dalam Hâsyiyah Minhatul Ghoffâr ‘Alâ Dhau’in Nahâr 4/2011, 2012. Lihat: kitab Hirâsyatul Fadhîlah hal.92 (cet.ke 7).

Berikut ini dalil-dalil yang menunjukkan tentang haramnya tabarruj:

Satu: Allah Rabbul ‘Izzah berfirman dalam surah Al Ahzâb ayat 33:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu bertabarruj dengan tabarruj orang-orang Jahiliyah yang dahulu.”

Berkata Imam Al Qurtubi tentang ayat ini: “Ayat ini adalah perintah untuk tetap berdiam/tinggal di rumah. Dan sekalipun yang diperintah dalam ayat ini adalah para istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam namun secara makna termasuk pula selain dari istri-istri Nabi.” (Lihat Tafsir Al Qurthubi: 14/179 )

Berkata Mujahid tentang makna “Tabarrujal Jâhiliyah”: “Perempuan yang keluar dan berjalan di depan laki-laki maka itulah yang dimaksud dengan “Tabarrujal Jâhiliyah.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 3/482 dan Ahkâmul Qur’ân Oleh Al Jashshas: 3/360)

Berkata Muqatil Bin Hayyan tentang makna “Tabarrujal Jâhiliyah”: “Tabarruj adalah perempuan yang melepaskan khimar (tutup kepala) dari kepalanya sehingga terlihat kalung, anting-anting dan lehernya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 3/482-483)

Dan Qatadah berkata dalam menafsirkan ayat “Ddan janganlah kamu bertabarruj dengan tabarruj orang-orang Jahiliyah yang dahulu”: Perempuan yang berjalan dengan bergoyang dan bergaya. Maka Allah subhânahu wa ta’âlâ melarang perempuan melakukan itu.” (Lihat Ahkâmul Qur’ân Oleh Al Jashshas: 3/360 dan Fathul Bayân: 7/391)

Adapun makna tabarruj dalam Tafsir Al Alûsi 21/8 yakni: “Perempuan yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya yang seharusnya tidak dinampakkan.”

Sementara Abu Ubaidah dalam menafsirkan makna tabarruj: “Perempuan yang menampakkan kecantikan yang dapat membangkitkan syahwat laki-laki, maka itulah yang dimaksud Tabarruj.” (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir: 3/33 )

Dua: Firman Allah Ta’ala:

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) untuk tabarruj dengan (menampakkan) perhiasan, dan menjaga kehormatan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS An Nûr: 60)

Maksud dari “Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka,” yaitu pakaian yang zhohir yang menutupi muka dan telapak tangan. Demikian dalam kitab Hirâsyatul Fadhîlah hal. 54 (cet. ke-7)

Kalau para perempuan tua dengan kriteria yang tersebut dalam ayat tidak boleh ber-tabarruj, apalagi para perempuan yang masih muda. Wallâhul Musta’ân.

Tiga: Firman Allah Jalla wa ‘Alâ:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS An Nûr: 31)

Empat: Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Imam Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسُ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُؤْوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا.

“Dua golongan dari penduduk neraka yang saya belum pernah melihatnya sebelumnya: Kaum yang mempunyai cambuk-cambuk seperti ekor-ekor sapi untuk memukul manusia dengannya dan para perempuan yang berpakaian tapi telanjang berjalan berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk onta, mereka tidaklah masuk surga dan tidak (pula) menghirup baunya, padahal baunya dihirup dari jarak begini dan begini.”

Berkata Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim (14/110) dalam menjelaskan makna “Berpakaian tapi telanjang” yaitu mereka berpakaian tetapi hanya menutup sebagian badannya dan menampakkan sebagian yang lain untuk memperlihatkan kecantikan dirinya ataukah memakai pakaian tipis sehingga menampakkan kulit badannya.”

Dan Syaikh Bin Bazz rahimahullah dalam Majmû’ah Ar Rosâil Fil Hijâb Wa Ash Shufûr hal. 52: “Dalam Hadits ini ada ancaman yang sangat keras bagi yang melakukan perbuatan tabarruj, membuka wajah dan memakai pakaian yang tipis. Ini terbukti dari ancaman Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam terhadap pelakunya bahwa mereka diharamkan masuk surga.”

Tabarruj Termasuk Dosa Besar

Imam Adz Dzahabi rahimahullah menggolongkan tabarruj termasuk dari dosa-dosa besar, beliau berkata dalam kitab Al Kabâ’ir hal. 146-147: “Termasuk perbuatan-perbuatan yang menyebabkan terlaknatnya seorang perempuan bila ia menampakkan perhiasan emas dan permata yang berada di bawah cadarnya, memakai wangi-wangian bila keluar rumah dan yang lainnya. Semuanya itu termasuk dari tabarruj yang Allah subhânahu wa ta’âlâ membencinya dan membenci pula pelakunya di dunia dan di akhirat. Dan perbuatan inilah yang banyak dilakukan oleh kaum perempuan sehinga Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda tentang para perempuan bahwa: “Aku menengok ke dalam neraka maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah perempuan.” Dan bersabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam:

مَا تَرَكْتُ بِعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ.

“Saya tidaklah meninggalkan suatu fitnah setelahku yang paling berbahaya atas kaum lelaki daripada fitnah perempuan.”

Dan dari bahaya fitnah perempuan terhadap laki-laki yakni keluarnya perempuan dari rumah-rumah mereka dalam keadaan ber-tabarruj karena hal itu dapat menjadi sebab bangkitnya syahwat laki-laki dan terkadang hal itu membawa kepada perbuatan yang tidak senonoh. (Lihat: Al Mufashshal Fî Ahkâmil Mar’ah: 3/416)

Dari uraian di atas, telah jelas bahwa tabarruj yang dilarang adalah tabarruj yang dilakukan bila keluar rumah. Adapun bila perempuan tersebut berhias di rumahnya dan menampakkan perhiasan dan kecantikan kepada suaminya maka hal ini tidak mengapa dan tidak berdosa bahkan agama memerintahkan hal tersebut.

Akibat-akibat yang Ditimbulkan dari Fitnah Ikhtilath dan Tabarruj

1. Ikhtilath adalah jalan dan sarana yang mengantar kepada segala bentuk perzinahan yakni zina menyentuh, melihat dan mendengar. Dan zina yang paling keji adalah zina kemaluan yang mana Allah subhânahu wa ta’âlâ mengancam pelakunya dalam surah Al Furqân ayat 68-69 dan surah Al Isrâ’ ayat 32. (Lihat: Ahkâmun Nisâ’ 4/357)

2. Ikhtilath dan tabarruj menyebabkan perkelahian dan peperangan di antara kaum muslimin. Hal ini disebabkan karena dalam ikhtilath terjadi kedengakian dan kebencian serta permusuhan di antara laki-laki karena memperebutkan perempuan atau sebaliknya terjadi kedengkian, kebencian dan permusuhan anatara perempuan karena memperebutkan laki-laki. (Lihat: Ahkâmun Nisâ’ 4/355-357).

3. Ikhtilath dan tabarruj menyebabkan perempuan tidak punya harga diri sebab ketika bercampur dengan laki-laki maka perempuan tersebut dapat dipandang dan dilihat oleh laki-laki sekedar untuk dinikmati, ibarat boneka yang hanya dilihat dari kecantikan raut muka dan keindahannya. (Lihat Majmû’ah Ar Rosâil Fil Hijâb Wa Ash Shufûr oleh Lajnah Da’imah hal. 119)

4. Ikthilath dan tabarruj menyebabkan hilangnya rasa malu pada diri perempuan yang mana hal itu adalah ciri keimanan dalam dirinya, karena ketika terjadi ikhtilath dan tabarruj maka perempuan tidak lagi mempunyai rasa malu dalam menampakkan auratnya. (Lihat Risalatul Hijâb oleh Syaikh Al ‘Utsaimin hal. 65)

5. Ikhtilath dan tabarruj menyebabkan ketundukan dan keterikatan pria yang sangat besar terhadap perempuan yang dia kenal dan dilihatnya. Dan hal inilah yang menyebabkan kerusakan besar pada diri laki-laki sampai membawanya kepada perbuatan yang kadang tergolong ke dalam kesyirikan. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:

مَا تَرَكْتُ بِعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ.

“Saya tidaklah meninggalkan suatu fitnah setelahku yang paling berbahaya atas kaum lelaki daripada fitnah perempuan.”

6. Perbuatan ikhtilath dan tabarruj adalah perbuatan yang menyerupai prilaku orang-orang kafir dari Yahudi dan Nashara karena hal itu adalah kebiasaan-kebiasaan mereka. Sedangkan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari golongan mereka.”

(Lihat perkataan sekelompok ulama dalam kitab Majmu’ Rosâ’il hal. 52)

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam serta penjelasan para ulama, juga melihat bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh khalwat, ikhtilath dan tabarruj maka jelaslah bahwa khalwat, ikhtilath dan tabarruj merupakan hal yang diharamkan. Dan seharusnya bagi seorang muslim dan muslimah apabila Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, hendaknya bersikap tunduk dan patuh pada perintah-Nya sebagai aplikasi keimanan kepada-Nya, sebagaimana firman Allah subhânahu wa ta’âlâ:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS Al Ahzâb: 36)

Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamin. Wallâhu a’lam.

Sumber: Majalah An-Nashihah volume 05 Tahun 1/1424 H/2004 M halaman 58-64, dengan perbaikan ejaan dan ketikan.

http://ummuyahya.wordpress.com/2010/03/09/hukum-khalwat-ikhtilath-dan-tabarruj/#more-296

Minggu, 28 Februari 2010

Mengapa Anak Bisa Serupa dengan Orang Tuanya?

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, demikian kata pepatah. Dan kiranya kalau kita mau sekadar mencocok-cocokkan, pepatah ini bisa berlaku pada anak Adam. Maksudnya bagaimana? Coba kita perhatikan seorang anak dari suatu keluarga. Biasanya anak itu kalau nggak mirip ayahnya atau keluarga ayahnya, ya… mirip dengan ibunya atau keluarga ibunya. Artinya, sebagaimana buah yang jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Demikian pula anak yang terlahir, tak jauh dari sifat salah satu dari orang tuanya (keluarga orang tuanya) atau membawa sifat kedua-duanya. Terkadang anak itu laki-laki tapi sifat seperti ibunya, dan sebaliknya anak perempuan tapi sifatnya seperti bapaknya.

Demikianlah Allah subhanahu wa ta’ala mengatur ciptaan-Nya, karena itu hendaknya manusia pandai-pandai bersyukur kepada-Nya dan memperhatikan dirinya dari apa ia diciptakan, sebagaimana Dia Yang Maha Tinggi berfirman:

فَلْيَنظُرِ اْلإِنسَانُ مِمَّ خُلِقَ خُلِقَ مِن مَّاء دَافِقٍ يَخْرُجُ مِن بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ

“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Ia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.” (Ath Thariq: 5-7)

Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala (4/498): “Firman Allah ta’ala: (Ia diciptakan dari air yang terpancar), yakni air yang keluar dengan terpancar dari laki-laki dan perempuan, maka akan terjadilah (lahirlah) anak dari keduanya dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla, dan karena itu Dia berfirman: (yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada), yakni dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.”

Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa Allah menciptakan anak manusia dengan pertemuan air mani yang terpancar yang keluar dari sepasang suami istri tatkala keduanya melakukan jima’. Lalu Dia jadikan anak itu laki-laki atau perempuan, serupa dengan ayah atau ibunya, sesuai dengan apa yang Dia kehendaki dan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa.

Bagaimana Anak yang Terlahir Bisa Laki-laki dan Bisa Perempuan, dan Bagaimana Bisa Terjadi Penyerupaan dengan Orang Tua?

Anda mungkin sedang menanti-nantikan lahirnya anak laki-laki di tengah keluarga atau sebaliknya Anda sedang mendambakan lahirnya anak perempuan. Sebenarnya bagaimana sih prosesnya sehingga anak yang lahir bisa laki-laki dan bisa perempuan, bisa serupa ayahnya atau ibunya?

Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, ia berkata: Abdullah bin Salam (seorang Yahudi) mendengar berita kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah. Maka ia pun mendatangi beliau, lantas berkata: “Aku akan menanyaimu dengan tiga perkara, tidak ada yang mengetahui jawabannya kecuali Nabi.” Lalu ia mulai bertanya: “Apa tanda awal datangnya hari kiamat? Makanan apa yang pertama kali disantap penduduk surga? Apa sebab seorang anak bisa serupa dengan bapaknya dan apa sebab bisa serupa dengan akhwalnya (keluarga ibunya)?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam menjawab: “Baru saja Jibril mengabarkan kepadaku.” Maka berkata Abdullah: “Jibril adalah musuh Yahudi dari kalangan malaikat.” Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam lalu menjawab (tiga pertanyaan tersebut):

أَمَّ أَوَّلُ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ فَنَارٌ تَحْشُرُ النَّاسَ مِنَ الْمَشْرِقِ إِلىَ الْمَغْرِبِ وَأَمَّا أَوَّلُ طَعَامٍ يَأْكُلُهُ أَهْلُ الْجَنَّةِ فَزِيَادَةُ كَبَدِ حُوْتٍ. وَأَمَّا الشِّيْهُ فِيْ الْوَلَدِ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَشَّى الْمَرْأَةَ فَسَبَقَهَا مَاؤُهُ كَانَ الشِّبْهُ لَهُ، وَإِذَا سَبَقَ مَاؤُهَا كَانَ الشِّبْهُ لَهَ. قَالَ: أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ. (حديث صحيح رواه البخاري)

“Adapun tanda awal terjadinya hari kiamat adalah keluarnya api yang akan mengumpulkan manusia dari timur ke barat. Makanan yang pertama kali disantap penduduk surga adalah hati ikan yang besar. Sedangkan masalah penyerupaan anak, apabila suami menggauli istrinya lalu air maninya keluar mendahului air mani istrinya maka anak (yang akan lahir) itu serupa dengan dirinya. Apabila air mani istrinya keluar lebih dulu maka anak itu akan serupa dengan istrinya.” Mendengar jawaban dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, Abdullah berkata: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah.” (Abdullah bin Salam kemudian masuk islam, radhiyallahu ‘anhu-pen).

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwasanya wanita juga mengeluarkan mani sebagaimana laki-laki dan dengan mani itulah anak bisa serupa dengan ayah atau ibunya.

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwasanya Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِ مِنَ الْحَقِّ، فَهَلْ عَلىَ الْمَرْأَةِ الْغُسْلَ إِذَا احْتَلَمَتْ؟ قَالَ: نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ. فَضَحِكَتْ أُمَّ سَلَمَةَ فَقَالَتْ: تَحْتَلِمُ الْمَرْأَةُ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: فِيْمَا تُشْبِهُ الْوَلَدَ؟ (رواه البخاري جـ٣٣٢٨)

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari perkara yang haq. Apakah wanita juga harus mandi jika ia bermimpi (ihtilam)?” Beliau menjawab: “Ya, apabila melihat air.” Maka tertawalah Ummu Salamah dan berkata: “Apakah wanita juga mimpi (ihtilam)?” Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam: “Bagaimanakah bisa terjadi penyerupaan anak?” (HR Bukhari no. 3328)

هَلْ تَغْتَسِلُ الْمَرْأَةُ إِذَا احْتَلَمَتْ وَأَبْصَرَتِ الْمَاءَ؟ فَقَالَ: (نَعَمْ) فَقَالَتْ لَهَا عَائِشَةُ: تَرِبَتْ يَدَاكِ وَأَلَّتْ، قَالَتْ: فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم دَعِيْهَا، وَهَلْ يَكُوْنُ الشَّبْهُ إِلاَّ مِنْ قِبَلِ ذَلِكَ، إِذَا عَلاَ مَاؤُهَا مَاءَ الرَّجُلِ أَشْبَهَ الْوَلَدُ أَخْوَالَهُ، وَإِذَا عَلاَ مَاءُ الرَّجُلِ مَاءَهَا أَشْيَهُ أَعْمَامَهُ.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya seorang wanita berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam: “Apakah wanita juga harus mandi jika ia bermimpi dan melihat air?” Beliau menjawab: “Ya.” Maka ‘Aisyah berseru: “Taribat yadaki.” (kalimat pengingkaran yang ditujukan ‘Aisyah kepada wanita tersebut karena ia bertanya dengan pertanyaan demikian-pen). Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam: “Biarkan dia, dari manakah persamaan bila tidak dari demikian. Bila air mani perempuan melebihi air mani laki-laki maka anak (yang terlahir) akan serupa dengan akhwalnya (keluarga ibunya) dan bila air mani laki-laki melebihi air mani perempuan maka anak akan serupa dengan a’mamnya (keluarga ayahnya).” (HR Imam Muslim hal. 251 Tartib Muhammad Fuad Abdul Baqi)

Dari hadits ‘Aisyah di atas dipahami bahwa pengunggulan dari air mani yang keluar, dengan izin Allah merupakan sebab penyerupaan anak. Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan Imam Muslim dari Tsauban maula Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam dijelaskan bahwa pengunggulan merupakan sebab anak yang terlahir itu laki-laki atau perempuan, dengan izin Allah. Yakni ketika datang seorang pendeta Yahudi kepada Nabi shallallahu ‘alahi wasallam. Ia bertanya tentang beberapa perkara, salah satunya ia bertanya tentang anak. Maka Nabi shallallahu ‘alahi wasallam menjawab:

مَاءُ الرَّجُلِ أَبْيَضُ وَمَاءَ الْمَرْأَةِ أَصْفَرُ فَإِذَا اجْتَمَعَا فَعَلاَ مَنِيُّ الرَّجُلِ مَنِيَّ الْمَرْأَةِ ذَكَرًا بِإِذْنِ اللهِ، وَإِذَا عَلاَ مَنِيُّ الْمَرْأَة مَنِيَّ الرَّجُلِ أُنْثًا بِإِذْنِ اللهِ.

“Air mani laki-laki itu warnanya putih sedang air mani perempuan itu kuning. Apabila keduanya berkumpul, lalu air mani laki-laki lebih banyak dari air mani perempuan maka anak (yang akan lahir) laki-laki, dengan izin Allah. Bila air mani perempuan lebih banyak dari air mani laki-laki maka anak (yang akan lahir) perempuan, dengan izin Allah….” (HR Muslim no. 315)

Asy Syaikh Musthafa Al Adawi dalam kitabnya Ahkamun Nisa’ mengatakan bahwasanya dari kedua hadits tersebut (hadits ‘Aisyah dan hadits Tsauban) menjadi jelaslah bahwa pengunggulan merupakan sebab penyerupaan anak dan sebab anak itu laki-laki atau perempuan. Artinya bila air mani laki-laki lebih banyak dari mani perempuan maka anaknya laki-laki serupa dengan a’maamnya (keluarga ayah). Sebaliknya bila air mani perempuan lebih banyak dari mani laki-laki, maka anak yang akan lahir perempuan dan serupa dengan akhwalnya (keluarga ibunya).

Namun terkadang kita dapatkan justru sebaliknya. Ada anak laki-laki tapi serupa dengan akhwalnya dan kadang ada anak perempuan yang serupa dengan a’maamnya, karena sebab itulah sebagian ulama mengarahkannya kepada ta’wil. Di antaranya Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, beliau menakwilkan kata “al ‘uluw” dalam hadits ‘Aisyah dengan makna “As Sabq” (mendahului), sedangkan kata “al ‘uluw” pada hadits Tsauban, sesuai dengan makna zhahirnya (yakni unggul/melebihi). (Fathul Bari 7/273)

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (7/273): “As Sabq” merupakan tanda (anak yang akan lahir) laki-laki atau perempuan sedangkan “Al ’uluw” sebagai tanda keserupaan.” Kemudian Al Hafizh melanjutkan: “Seakan-akan yang dimaksud dengan “Al ’uluw” yang merupakan sebab keserupaan itu adalah bila mani dari salah satunya (laki-laki atau perempuan) keluar dalam jumlah yang banyak sehingga membanjiri yang lainnya. Dengan keadaan ini maka tercapailah keserupaan. Perkara ini ada enam keadaan:

Pertama: Apabila mani laki-laki lebih banyak dan keluar mendahului mani perempuan. Maka anak yang akan lahir laki-laki dan serupa dengan ayah/keluarga ayahnya.

Kedua: Sebaliknya, bila mani perempuan lebih banyak dan keluar mendahului mani laki-laki, maka anak yang akan lahir perempuan dan serupa dengan ibu/keluarga ibunya.

Ketiga: Bila mani laki- laki keluar lebih dahulu namun mani perempuan lebih banyak, maka akan lahir anak laki-laki dan serupa dengan ibunya.

Keempat: Sebaliknya, bila mani perempuan keluar lebih dahulu namun mani laki-laki lebih banyak maka akan terlahir anak perempuan dan serupa dengan ayahnya.

Kelima: Bila mani laki-laki keluar mendahului mani perempuan dan sama banyaknya maka akan terlahir anak laki-laki dan tidak khusus penyerupaannya dengan ayah dan ibunya.

Keenam: Sebaliknya, bila mani perempuan mendahului mani laki-laki dan sama banyaknya maka akan lahir anak perempuan dan tidak khusus penyerupaannya.”

Semuanya itu bisa terjadi dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala. Bila Dia menghendaki akan terjadi dan bila tidak maka tidak mungkin akan terjadi.

Wallahu a’lam.

Maraji’:

1. Al Qur’anul Karim

2. Ahkamun Nisa’, Asy Syaikh Musthafa al Adawi

3. Ahkamut Thifl, Ahmad Al ‘Aysawi

4. Fathul Bari, Ibnul hajar Al Asqalani

5. Shahih Muslim Syarhun Nawawi, Imam An Nawawi.

Sumber: Majalah SALAFY edisi XVIII/Shafar/1418/1997 Lembar Muslimah halaman 10-13, ditulis oleh Ibnatu Husein dan Abu Ishaq Al Atsary)

http://ummuyahya.wordpress.com/2010/02/28/mengapa-anak-bisa-serupa-dengan-orang-tuanya/

Sabtu, 20 Februari 2010

Hukum Memandang dan Berjabat Tangan dengan Selain Mahram

Oleh: Al Ustadz Abul Fadhl Shobaruddin

Pertanyaan:

Sungguh agama telah mengatur segala aspek kehidupan dan menatanya dengan keimanan dan ketundukan kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ. Perbedaan begitu banyak terjadi dalam kehidupan, termasuk kontroversi tentang haram dan tidak haramnya memandang dan berjabat tangan dengan selain mahram. Fenomena ini terus mencuat, lalu bagaimanakah sebenarnya analisa ilmiah tentang hal tersebut?

Jawab:

Allah subhânahu wa ta’âlâ telah menciptakan manusia, maka tentunya Allah pun telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya bagaimana hukum yang berlaku bagi laki-laki dan wanita yang tidak semahram dalam memandang dan berjabat tangan. Olehnya kita simak uraian dalil Al Qur’an dan Sunnah tentang masalah ini, agar hati kita tenang dan dapat mengamalkannya sesuai dengan perintah agama.

Adapun dalil dari Al Qur’an:

Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman dalam surah An Nur: 31

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya.”

Ayat ini menunjukkan perintah Allah subhânahu wa ta’âlâ kepada wanita-wanita mu’minah untuk menundukkan pandangannya dari apa yang Allah subhânahu wa ta’âlâ telah haramkan, maka jangan mereka memandang kecuali apa yang Allah subhânahu wa ta’âlâ telah halalkan baginya.

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah: “Kebanyakan para ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang haramnya wanita memandang laki-laki selain mahramnya apakah dengan syahwat atau tanpa syahwat”. (Tafsir Ibnu Katsir 3/345)

Berkata Imam Al Qurthubi rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini: “Allah subhânahu wa ta’âlâ memulai dengan perintah menundukkan pandangan sebelum perintah menjaga kemaluan karena pandangan adalah pancaran hati. Dan Allah subhânahu wa ta’âlâ memerintahkan wanita-wanita mu’minah untuk menundukkan pandangannya dari hal-hal yang tidak halal. Oleh karena itu tidak halal bagi wanita-wanita mu’minah untuk memandang laki-laki selain mahramnya.” (Tafsir Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an 2/227)

Berkata Imam Asy Syaukani rahimahullah: “Ayat ini menunjukkan haramnya bagi wanita memandang kepada selain mahramnya.” (Tafsir Fathul Qodir 4/32)

Berkata Muhammad Amin Asy Syinqithi rahimahullah: “Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa yang menjadikan mata itu berdosa karena memandang hal-hal yang dilarang berdasarkan firman Allah subhânahu wa ta’âlâ dalam surah Ghafir ayat 19:

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُوْرِ

“Dia mengetahui khianatnya (pandangan) mata dan apa yang disembunyikan oleh hati.”

Ini menunjukkan ancaman bagi yang menghianati matanya dengan memandang hal-hal yang dilarang”.

Al Imam Al Bukhari rahimahullah berkata: “Makna dari ayat (An Nur: 31) adalah memandang hal yang dilarang karena hal itu merupakan pengkhianatan mata dalam memandang.” (Adhwa’ Al Bayan 9/190)

Dalil-dalil dari Sunnah:

# Dari Abi Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhari-Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ فِي الطُّرُقَاتِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا لَنَا بُدٌّ مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيْهَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوْا الطَّرِيْقَ حَقَّهُ قَالُوْا وَمَا حَقُّهُ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Hati-hatilah kalian dari duduk di jalan-jalan, mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah ada apa-apanya (bahayanya) dari majelis-majelis yang kami berbicara di dalamnya? Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam menjawab: “Apabila kalian tidak mau kecuali harus bermajelis maka berikanlah bagi jalanan haknya,” mereka bertanya: “Dan apa haknya jalanan itu?” Rasulullah menjawab: “Menundukkan pandangan, menahan diri dari mengganggu, menjawab salam dan amar ma’ruf nahi mungkar.”

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (11/11): “Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam melarang duduk di jalan, hal ini untuk menjaga timbulnya penyakit hati dan fitnah dari memandang laki-laki ataupun wanita selain mahramnya.”

Berkata Syamsuddin Al ‘Azhim Al Abadi sebagaimana dalam ‘Aunul Ma’bud (13/168): “Ghodhdhul bashor (menundukkan pandangan) yaitu menahan pandangan dari melihat yang diharamkan”.

# Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhari-Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam menegaskan:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakannya.”

Imam Bukhari dalam menjelaskan hadits ini menyatakan bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya dapat berzina, sebagaimana beliau sebutkan dalam sebuah bab bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya dapat berzina.

Dan Al Hafizh Ibnu Hajar telah menukil dari Ibnu Baththal, beliau berkata bahwa: “Mata, mulut dan hati dinyatakan berzina karena asal sesungguhnya dari zina kemaluan itu adalah memandang kepada hal-hal yang haram.” (Fathul Bari 11/26)

Maka dari pernyataan ini menunjukkan bahwa hukum memandang kepada selain mahram adalah haram karena memandang adalah wasilah (jalan) yang mengantar kita untuk berbuat zina kemaluan yang mana hal itu termasuk dosa besar.

# Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

يَتَحَقَّقُ رَجُلٌ مِنْ جُحْرٍ فِيْ حُجَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَمَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مدري يحك به رأسه فقال لو أعلم أنك تنظر لطعنت به في عينك إنما جعل الاستئذان من أجل البصر

“Seseorang dari satu celah mengamati kamar-kamar Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam dan pada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam ada sisir yang beliau menggaruk kepalanya, maka beliau berkata: “Sekiranya saya tahu engkau memandang (ke kamarku) maka akan kutusukkan sisir ini ke matamu, sesungguhnya diberlakukannya meminta izin itu karena alasan pandangan.” (HR Bukhari Muslim)

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya meminta izin disebabkan karena hal memandang dan adapun larangan memandang ke dalam rumah orang tanpa memberitahu pemiliknya karena dikhawatirkan ia akan melihat hal-hal yang haram.” (Fathul Bari: 11/221)

# Dari Jarir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu:

سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِيْ

“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam tentang memandang secara tiba-tiba, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam memberi perintah kepadaku: “Palingkanlah pandanganmu.” (HR Muslim)

Syeikh Salim Al Hilali hafizhahullah berkata: “Hadits ini menjelaskan bahwa tidak ada dosa pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba (tidak disengaja) akan tetapi wajib untuk memalingkan pandangan berikutnya, karena hal itu sudah merupakan dosa.” (Bahjatun Nadzirin 3/146)

Imam An Nawawi mengatakan: “Pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba tanpa maksud tertentu pada pandangan pertama maka tak ada dosa. Adapun selain itu, bila ia meneruskan pandangannya maka hal itu sudah terhitung sebagai dosa.” (Syarh Shahih Muslim 4/197)

HUKUM MEMANDANG SELAIN MAHRAM MENURUT PENDAPAT PARA ULAMA

Dari uraian dalil Al Qur’an dan Sunnah di atas menunjukkan bahwa hukum memandang kepada selain mahram adalah haram. Dan tidak terjadi khilaf di antara para ulama akan hal itu.

Al Imam An Nawawi telah menukil kesepakatan para ulama tentang haramnya memandang kepada selain mahram dengan syahwat. (Syarh Shahih Muslim oleh An Nawawi 6/262)

Adapun khusus wanita bila memandang dengan tanpa syahwat maka terjadi perselisihan pendapat, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, bahwa: “Kebanyakan para ulama menyatakan haram bagi wanita memandang selain mahramnya baik dengan syahwat ataupun tanpa syahwat dan sebagian lagi dari mereka menyatakan bahwa haram wanita memandang dengan syahwat, adapun tanpa syahwat maka hal itu boleh. (Tafsir Ibnu Katsir 3/354)

Adapun dalil pendapat Jumhur Ulama yang menyatakan haram memandang secara mutlak adalah:

# Surah An Nur: 31, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya.”

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini bahwa ayat ini merupakan dalil akan haramnya wanita memandang kepada selain mahram. (Tafsir Ibnu Katsir 3/345).

Dan berkata Muhammad Ibnu Yusuf Al Andalusi dalam Tafsirnya (Tafsirul Bahrul Muhit: 6/411) dan Imam Asy Syaukani (Fathul Qadir: 4/32): “Bahwa surah An Nur ayat 31 ini sebagai taukid (penguat) ayat sebelumnya yaitu An Nur ayat 30, bahwa hukum laki-laki memandang kepada selain mahram adalah haram secara mutlak maka begitupun hukum wanita memandang kepada selain mahram adalah haram secara mutlak pula.”

# Dan hadits Ummu Salamah:

كُنْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ مَيْمُوْنَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ احْتَجِبَا مِنْهُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَفَعُمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ

“Pernah aku bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam dan Maimunah ada disisinya, maka datanglah Ibnu Ummi Maktum dan pada saat itu kami telah diperintah untuk berhijab, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berkata: “Berhijablah kalian darinya,” maka kami mengatakan: “Bukankah Ibnu Ummi Maktum buta, tidak melihat dan tidak mengenal kami?” maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berkata: “Apakah kalian berdua buta? bukankah kalian berdua dapat melihatnya?” (HR Abu Dawud no. 4112, At Tirmidzi no. 2778, An Nasa’i dalam Al Kubra no. 9241, Ahmad 6/296, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 6922, Ibnu Hibban sebagaimana Al Ihsan no. 5575-5576, Al Baihaqi 7/91, Ath Thabarani 23/no. 678, Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat 8/175,178, Al Khatib Al Baghdadi dalam Tarikhnya 3/17-18, 8/338 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid 19/155)

Tapi hadits ini ada kelemahan di dalamnya yaitu seorang rawi yang bernama Nabhan maula Ummu Salamah dan ia ini adalah seorang rawi yang majhul. Karena itu hadits ini dilemahkan oleh syeikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 1806.

Imam An Nawawi berkata: ada dua pendapat dalam masalah hukum wanita memandang tanpa dengan syawat, dan yang rojih dalam masalah ini adalah haram, berdasarkan dalil Surah An Nur: 31. Dan dalil yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Ummi Salamah dan beliau berkata bahwa haditsnya hasan. (Lihat Syarah Muslim oleh An Nawawi 6/262)

Adapun dalil yang digunakan oleh orang-orang yang membolehkan wanita memandang kepada selain mahram tanpa syahwat adalah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْمُ عَلَى بَابِ حُجْرَتِيْ وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُوْنَ بِحِرَابِهِمْ فِيْ مَسْجِدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِيْ بِرِدَائِهِ لِكَيْ أَنْظُرُ إِلَى لَعْبِهِمْ

“Aku melihat Rasullullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam di pintu kamarku dan orang-orang Habasyah bermain dalam masjid Rasullullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam, (beliau) menghijabiku dengan rida’nya supaya aku dapat melihat permainan mereka.” (HR Bukhari-Muslim)

Akan tetapi tidak ada pendalilan (alasan) bagi mereka dalam hadits ini untuk membolehkan memandang kepada laki-laki yang bukan mahram tanpa syahwat. Dan penjelasan hal tersebut sebagai berikut:

Berkata Imam An Nawawi (Syarh Muslim 6/262): “Adapun hadits yang menceritakan tentang ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat orang-orang Habasyah bermain dalam masjid memiliki beberapa kemungkinan, antara lain saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha belum mencapai masa baligh.”

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar (Al Fath 2/445): “Dalam hadits ‘Aisyah tersebut kemungkinan saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha hanya bermaksud melihat permainan mereka bukan wajah dan badannya dan bila ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sampai melihat mereka maka hal itu terjadi secara tiba-tiba dan tentunya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha akan memalingkan pandangannya setelah itu.”

Kemungkinan lainnya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat orang-orang Habasyah bermain dalam masjid dari jarak jauh karena dalam hadits itu diceritakan bahwa ‘Aisyah berada dalam kamarnya sedangkan orang-orang Habasyah bermain dalam masjid. Wallahu a’lam.

SYUBHAT YANG TERJADI SEKITAR HUKUM MEMANDANG

1. Tentang boleh atau tidaknya jika hal yang dipandang itu di dalam televisi, majalah atau koran.

Maka dijawab bahwa tidak ada perbedaan melihat di televisi, majallah dan lain-lain, karena ayat dan hadits-hadits yang kita sebutkan sebelumnya secara umum memerintahkan untuk menundukkan pandangan (Lajnah Fatawa oleh Syaikh Ibnu Baz).

2. Pandangan pertama adalah rahmat.

Hal ini tidak betul, sebab dalam hadits Jarir yang telah lalu diceritakan ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam ditanya tentang memandang secara tiba-tiba (tidak disengaja) yang terjadi pada awal kali memandang, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam memerintahkan untuk memalingkan pandangan itu. Maka tentunya memandang dengan sengaja adalah dosa walaupun terjadi pada awal kali memandang.

3. Melihat ciptaan Allah adalah ibadah.

Ibnu Taymiyah berkata: “Siapa yang berkata bahwa melihat kepada ciptaan Allah adalah ibadah termasuk melihat kepada yang haram (yang bukan mahramnya), ini berarti dia telah menyatakan bahwa perbuatan keji itu adalah ibadah. Ini adalah perkataan kufur dan murtad sebagaimana ayat:

قُلْ إِنَّ اللهَ لاَ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan perkataan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS Al A’raf: 28)

Catatan:

Tidak bolehnya melihat kepada perempuan yang bukan mahram ini berlaku umum kecuali kalau seseorang ingin meminang maka boleh ia melihat kepada pinangannya dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh syari’at sebatas keperluan sebagaimana yang dijelaskan dalam dalil-dalil yang sangat banyak. Wallahu a’lam.

HUKUM BERJABAT TANGAN DENGAN SELAIN MAHRAM

Adapun hukum berjabat tangan dengan selain mahram adalah haram, dalilnya sangat jelas, antara lain:

# Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhari-Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam menegaskan:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zananya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan.”

Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim (16/316) menjelaskan: “Hadits ini menerangkan bahwa haramnya memegang dan menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar untuk melakukan zina kemaluan.”

# Hadits Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu:

لَأَنْ يُطْعَنُ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HSR Ar Ruyani dalam Musnadnya no.1282, Ath Thobrani 20/no. 486-487 dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 4544 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 226)

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram adalah dosa besar (Nashihati lin Nisa hal.123)

Berkata Asy Syinqithi (Adwa’ Al Bayan 6/603): “Tidak ada keraguan bahwa fitnah yang ditimbulkan akibat menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih kuat dibanding fitnah memandang.”

Berkata Abu ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali Al Makky Al Haitami (Az Zawajir 2/4) bahwa: “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram adalah termasuk dosa besar.”

# Hadits Amimah bintu Raqiqoh radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:

إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

“Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita.” (HSR Malik no. 1775, Ahmad 6/357, Ishaq Ibnu Rahaway dalam Musnadnya 4/90, ‘Abdurrazzaq no. 9826, Ath Thoyalisi no. 1621, Ibnu Majah no. 2874, An Nasa’i 7/149, Ad Daraquthni 4/146-147, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al Ihsan no. 4553, Al Baihaqi 8/148, Ath Thabari dalam Tafsirnya 28/79, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al Ahad wal Matsani no. 3340-3341, Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqot 8/5-6, Ath Thobarani 24/no. 470,472,473 dan Al Khallal dalam As Sunnah no. 45. Dan dihasankan oleh Al Hafizh dalam Fathul Bari 12/204, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 529 dan Syaikh Muqbil dalam Ash Shahih Al Musnad Mimma Laisa Fii Ash Shahihain. Dan hadits ini mempunyai syahid dari hadits Asma’ binti Yazid diriwayatkan oleh Ahmad 6/454,479, Ishaq Ibnu Rahawaih 4/182-183, Ath Thabarani 24/no. 417,456,459 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid 12/244. Dan di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syahr bin Hausyab dan ia lemah dari sisi hafalannya namun bagus dipakai sebagai pendukung)

Berkata Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid 12/243: “Dalam perkataan beliau “aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita” ada dalil tentang tidak bolehnya seorang lelaki bersentuhan dengan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya-pent.) dan menyentuh tangannya dan berjabat tangan dengannya.”

# Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam riwayat Bukhari-Muslim, beliau berkata:

وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ فِي الْمُبَايَعَةِ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ

“Demi Allah tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah menyentuh tangan wanita dalam berbai’at, beliau hanya membai’at mereka dengan ucapan.”

Berkata Imam An Nawawi (Syarh Muslim 13/16): “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at wanita dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan.”

Berkata Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir 4/60): “Hadits ini sebagai dalil bahwa bai’at wanita dengan ucapan tanpa dengan menyentuh tangan.”

Jadi bai’at terhadap wanita dilakukan dengan ucapan tidak dengan menyentuh tangan. Adapun asal dalam berbai’at adalah dengan cara menyentuh tangan sebagaimana Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam membai’at para shahabatnya dengan cara menyentuh tangannya. Hal ini menunjukkan haramnya menyentuh/berjabat tangan kepada selain mahram dalam berbai’at, apalagi bila hal itu dilakukan bukan dengan alasan bai’at tentu dosanya lebih besar lagi.

SYUBHAT-SYUBHAT YANG TERSEBAR DALAM MENYENTUH/BERJABAT TANGAN DENGAN SELAIN MAHRAM

1. Boleh menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram dengan dalil 2 hadits dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha:

فَمَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ مِنْ خَارِجِ الْبَيْتِ وَمَدَدْنَا أَيْدِيَنَا مِنْ دَاخِلِ الْبَيْتِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ اشْهَدْ

“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam memanjangkan tangannya dari luar rumah dan kamipun memanjangkan tangan kami dari dalam rumah kemudian beliau berkata: “Ya Allah, saksikanlah.”

Dan juga beliau berkata dalam riwayat Bukhari:

بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْنَا أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَنَهَانَا عَنْ النِّيَاحَةِ فَقَبَضَتْ امْرَأَةٌ يَدَهَا…

“Kami berbai’at kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam, maka beliau membacakan kepada kami ayat ((Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu pun)) dan melarang kami dari meraung (sewaktu kematian), maka wanita (itupun) memegang tangannya…”

BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT:

> Hadits pertama kata Al Hafizh Ibnu Hajar diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Bazzar, Ath Thabari dan Ibnu Mardaway dari jalan Isma’il bin ‘Abdirrahman dan dia ini kata Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah 2/65 laisa bimasyhur (tidak terkenal) maka beliau hukumi haditsnya sebagai hadits laisa bil qawy (tidak kuat).

> Kata Al hafizh Ibnu Hajar bahwa mereka memanjangkan tangan dari belakang hijab, itu sebagai isyarat bahwa bai’at telah terjadi walaupun tidak berjabat tangan.

> Dalam hadits pertama ini tidak ada kepastian bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam menyentuh/berjabat tangan dengan wanita, bahkan yang dipahami dalam hadits itu Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam hanya memanjangkan tangannya.

> Pada hadits kedua, dimaksud yang memegang tangannya adalah tangan wanita itu sendiri bukan tangan Rasulullah.

> Kemudian dalam dua hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al Albani rahimahullah bukan pernyataan yang shorih (tegas, jelas) bahwa para wanita ini berjabat tangan dengan beliau maka tidak boleh hadits yang seperti ini menggugurkan kandungan dari hadits Amimah bintu Raqiqah dan hadits ‘Aisyah yang jelas menyatakan bahwa rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam sama sekali tidak pernah berjabat dan menyentuh tangan wanita baik dalam bai’at maupun di luar bai’at.

2. Boleh menyentuh/berjabat tangan bila dilapisi dengan kain atau semacamnya,dengan dalil hadits Sya’bi radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَايَعَ النِّسَاءَ أُتِيَ بِثَوْبٍ قَطْرٍ فَوَضَعَهَا عَلَى يَدِهِ وَقَالَ أَنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

“Bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam ketika beliau membai’at para wanita, beliau diberi kain sutra, kemudian beliau meletakkannya atas di tangannya dan berkata: “Saya tidak berjabat tangan dengan wanita.”

BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT:

> Hadits ini mursal (dha’if). Dikeluarkan dari ‘Abdurrazzaq dari jalan An Nakha’i dengan mursal. Dan dari Ibnu Manshur dari jalan Qois Abi Hazm dengan jalan mursal. Karena hadits lemah, maka dikembalikan kepada hadits yang secara umum menyatakan haramnya menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram, apakah dengan memakai pelapis/pembatas atau tidak. (Lihat Al Fatawa Wa Ar Rasa’il Lin Nisa’i karya Syaikh ‘Utsaimin hal. 10 dan Nashihati Lin Nisa’ oleh Ummu ‘Abdillah binti Muqbil bin Hadi Al Wadi’i hal. 14)

3. Boleh menyentuh/berjabat tangan dengan orang yang sudah tua

BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT:

> Hal ini telah ditanyakan kepada Syaikh bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin rahimahumallah dan beliau menjawab bahwa tidak ada perbedaan dalam hal ini apakah orang yang dijabat tangani sudah tua atau belum, karena hadits-hadits yang menyebutkan bahaya dan fitnah yang ditimbulkan tidak membedakannya. Kemudian kata Syaikh batas orang tua ataupun muda, berbeda menurut penilaian masing-masing orang. (Lihat Fatwa Syaikh bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin)

Wallahu a’lam bishshawab.

4. Saya berjabat tangan kepada selain mahram itu karena niat yang baik.

BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT:

Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman:

وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu pasti berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan sholeh.” (QS Al ‘Ashr : 1-3)

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk-bentuk dan harta-harta kalian tetapi Allah melihat kepada hat-hati dan amalan-amalan kalian.” (HSR Muslim)

Berkata Al Imam Al Ajurri di kitab Asy Syari’ah hlm. 128: “Amalan yang dilakukan oleh anggota tubuh sebagai pembenaran iman yang ada dalam hati, maka barangsiapa yang tidak beramal tidak dikatakan sebagai orang yang beriman bahkan meninggalkan amalan adalah pendustaan terhadap imannya kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ.

Wallahu a’lam bishshawab.

KESIMPULAN:

Dari uraian dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah di atas maka telah jelas bagi kita tentang larangan memandang dan berjabat tangan kepada selain mahram. Bahwa hukum memandang dan berjabat tangan kepada selain mahram adalah haram.

Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.

Sumber: Majalah An-Nashihah volume 04 Tahun 1/1423 H/2002 M halaman 58-66, dengan perbaikan ejaan dan ketikan.

http://ummuyahya.wordpress.com/2010/02/20/hukum-memandang-dan-berjabat-tangan-dengan-selain-mahram/

Kamis, 18 Februari 2010

Siapakah Mahrammu?

Siapakah Mahrammu?

Oleh: Al Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi

Pertanyaan:

Siapakah yang merupakan mahram?

Jawab:

Mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab atau hubungan susuan atau karena ada ikatan perkawinan. Lihat Ahkâm An Nazhar Ilâ Al Muharramât hlm. 32.

Adapun ketentuan siapa yang mahram dan yang bukan mahram telah dijelaskan dalam Al Qur’an Surah An Nisâ’ ayat 23:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُ خْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَآئِبِكُمُ اللاَّتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِنْ نِسَآئِكُمُ اللاَّتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْراً رَحِيْماً.

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak-anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuai yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS An Nisâ’: 23)

Di dalam ayat ini disebutkan beberapa orang mahram yaitu:

Pertama: أُمَّهَاتُكُمْ (ibu-ibu kalian). Ibu dalam bahasa Arab artinya setiap yang nasab lahirmu kembali kepadanya. Defenisi ini akan mencakup:

1. Ibu yang melahirkanmu.

2. Nenekmu dari ayah maupun dari ibumu.

3. Nenek ayahmu dari ayah maupun ibunya.

4. Nenek ibumu dari ayah maupun ibunya.

5. Nenek buyut ayahmu dari ayah maupun ibunya.

6. Nenek buyut ibumu dari ayah maupun ibunya.

7. dan seterusnya ke atas.

Kedua: وَبَنَاتُكُمْ (anak-anak perempuan kalian). Anak perempuan dalam bahasa arab artinya setiap perempuan yang nisbah kelahirannya kembali kepadamu. Defenisi ini akan mencakup:

1. Anak perempuanmu.

2. Anak perempuan dari anak perempuanmu (cucu).

3. Anaknya cucu.

4. dan seterusnya ke bawah.

Ketiga: وَأَخَوَاتُكُمْ (saudara-saudara perempuan kalian). Saudara perempuan ini meliputi:

1. Saudara perempuan seayah dan seibu.

2. Saudara perempuan seayah saja.

3. dan saudara perempuan seibu saja.

Keempat: وَعَمَّاتُكُمْ (saudara-saudara perempuan ayah kalian). Masuk dalam kategori saudara perempuan ayah:

1. Saudara perempuan ayah dari satu ayah dan ibu.

2. Saudara perempuan ayah dari satu ayah saja.

3. Saudara perempuan ayah dari satu ibu saja.

4. Masuk juga di dalamnya saudara-saudara perempuan kakek dari ayah maupun ibumu.

5. dan seterusnya ke atas.

Kelima: وَخَالاَتُكُمْ (saudara-saudara perempuan ibu kalian). Yang masuk dalam saudara perempuan ibu sama seperti yang masuk dalam saudara perempuan ayah yaitu:

1. Saudara perempuan ibu dari satu ayah dan ibu.

2. Saudara perempuan ibu dari satu ayah saja.

3. Saudara perempuan ibu dari satu ibu saja.

4. Saudara-saudara perempuan nenek dari ayah maupun ibumu.

5. dan seterusnya ke atas.

Keenam: وَبَنَاتُ الْأَخِ (anak-anak perempuan dari saudara laki-laki). Anak perempuan dari saudara laki-laki mencakup:

1. Anak perempuan dari saudara laki-laki satu ayah dan satu ibu.

2. Anak perempuan dari saudara laki-laki satu ayah saja.

3. Anak perempuan dari saudara laki-laki satu ibu saja.

4. Anak-anak perempuan dari anak perempuannya saudara laki-laki.

5. Cucu perempuan dari anak perempuannya saudara laki-laki.

6. dan seterusnya ke bawah.

Ketujuh: وَبَنَاتُ الْأُخْتِ (anak-anak perempuan dari saudara perempuan). Ini sama dengan anak perempuan saudara laki-laki, yaitu meliputi:

1. Anak perempuan dari saudara perempuan satu ayah dan ibu.

2. Anak perempuan dari saudara perempuan satu ayah saja.

3. Anak perempuan dari saudara perempuan satu ibu saja.

4. Anak-anak perempuan dari anak perempuannya saudara perempuan.

5. Cucu perempuan dari anak perempuannya saudara perempuan.

6. dan seterusnya ke bawah.

Catatan Penting:

Tujuh yang tersebut di atas adalah mahram karena nasab. Sehingga kita bisa mengetahui bahwa ada empat orang yang bukan mahram walaupun ada hubungan nasab, mereka itu adalah:

1. Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ayah (sepupu).

2. Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibu (sepupu).

3. Anak-anak perempuan dari saudara perempuan ayah (sepupu).

4. Anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibu (sepupu).

Mereka ini bukanlah mahram dan boleh dinikahi.

Kedelapan: وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ(ibu-ibu yang menyusui kalian). Yang termasuk ibu susuan adalah:

1. Ibu susuan itu sendiri.

2. Ibunya ibu susuan.

3. Neneknya ibu susuan.

4. dan seterusnya ke atas.

Catatan Penting:

Kita melihat bahwa dalam ayat ini ibu susuan dinyatakan sebagai mahram, sementara menurut ulama, pemilik susu adalah suaminya karena sang suamilah yang menjadi sebab istrinya melahirkan sehingga mempunyai air susu. Maka disebutkannya ibu susuan sebagai mahram dalam ayat ini adalah merupakan peringatan bahwa sang suami adalah sebagai ayah bagi anak yang menyusu kepada istrinya. Dengan demikian anak-anak ayah dan ibu susuannya baik yang laki-laki maupun yang perempuan dianggap sebagai saudaranya (sesusuan), dan demikian pula halnya dengaan saudara-saudara dari ayah dan ibu susuannya baik yang laki-laki maupun yang perempuan dianggap sebagai paman dan bibinya. Karena itulah Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam menetapkan di dalam hadits beliau yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Imam Muslim dari hadits ‘A’isyah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhuma:

إِنَّهُ يُحْرَمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يُحْرَمُ مِنَ النَّسَبِ

“Sesungguhnya menjadi mahram dari susuan apa-apa yang menjadi mahram dari nasab.”

Kesembilan: وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ (dan saudara-saudara perempuan kalian dari susuan). Yang termasuk dalam kategori saudara perempuan sesusuan adalah:

1. Perempuan yang kamu disusui oleh ibunya (ibu kandung maupun ibu tiri).

2. Atau perempuan itu menyusu kepada ibumu.

3. Atau kamu dan perempuan itu sama-sama menyusu pada seorang perempuan yang bukan ibu kalian berdua.

4. Atau perempuan yang menyusu kepada istri yang lain dari suami ibu susuanmu.

Kesepuluh: وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ (dan ibu istri-istri kalian) ibu istri mencakup ibu dalam nasab dan seterusnya keatas dan ibu susuan dan seterusnya ke atas. Mereka ini menjadi mahram bila/dengan terjadinya akad nikah antara kalian dengan anak perempuan mereka, walaupun belum bercampur.

Tidak ada perbedaan antara ibu dari nasab dan ibu susuan dalam kedudukan mereka sebagai mahram. Demikian pendapat jumhur ulama seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Jabir, dan Imran bin Husain dan juga pendapat kebanyakan para tabi’in dan pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Ashhab Ar Ro’y yang mana mereka berdalilkan dengan ayat ini, oleh karena itu kita tidak bisa menerima perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menyatakan bolehnya seorang lelaki menikah dengan ibu susuan istrinya dan saudara sesusuan istrinya. Wallâhu a’lam.

Kesebelas: مِنْ نِسَآئِكُمُ اللاَّتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ (anak-anak istrimu (Ar Rabâ’ib) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya)

Ayat ini menunjukkan bahwa Ar Rabâ’ib adalah mahram. Dan menurut bahasa Arab Ar Rabâ’ib ini mencakup:

1. Anak-anak perempuan istrimu.

2. Anak-anak perempuan dari anak-anak istrimu (cucu perempuannya istri).

3. Cucu perempuan dari anak-anak istrimu.

4. dan seterusnya ke bawah.

Tapi Ar Rabâ’ib ini dalam ayat ini menjadi mahram dengan syarat apabila ibunya telah digauli adapun kalau ibunya diceraikan atau meninggal sebelum digauli oleh suaminya maka Ar Rabâ’ib ini bukan mahram suami ibunya bahkan suami ibunya itu bisa menikahi dengannya. Dan ini merupakan pendapat Jumhur Ulama seperti Imam Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan lain-lainnya. Hal ini berdasarkan zhahir ayat:

مِنْ نِسَآئِكُمُ اللاَّتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ

“Dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.”

Adapun yang tersebut di ayat (Ar Rabâ’ib yang dalam pemeliharaanmu) kata “dalam pemeliharaanmu” dalam ayat ini bukanlah sebagai syarat untuk dianggapnya Ar Rabâ’ib itu sebagai mahram. Semua Ar Rabâ’ib baik yang dalam pemeliharaan maupun yang diluar pemeliharaan adalah mahram menurut pendapat jumhur ulama. Jadi kata “dalam pemeliharaanmu” hanya menunjukkan bahwa kebanyakan Ar Rabâ’ib itu dalam pemeliharaan atau hanya menunjukkan dekatnya Ar Rabâ’ib tersebut dengan ayahnya. Dengan demikian nampaklah hikmah kenapa Ar Rabâ’ib menjadi mahram. Wallâhu a’lam.

Keduabelas: وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ (istri-istri anak-anak kandungmu (menantu).

Ini meliputi:

1. Istri dari anak kalian.

2. Istri dari cucu kalian.

3. Istri dari anaknya cucu.

4. dan seterusnya ke bawah baik dari nasab maupun sesusuan.

Mereka semua menjadi mahram setelah akad nikah dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam hal ini.

Lihat pembahasan di atas dalam: Al Mughni 9/513-518, Al Ifshâh 8/106-110, Al Inshâf 8/113-116, Majmu’ Al Fatâwâ 32/62-67, Al Jâmi’ Lil Ikhtiyârât Al Fiqhiyyah 2/589-592, Zâdul Ma’âd 5/119-124, Taudhîl Al Ahkâm 4/394-395, Tafsir Al Qurthubi 5/105-119, Taisir Al Karîm Ar Rahmân.

Catatan:

Demikian mahram dalam surah An Nisâ’. Tapi perlu diingat, pembicaraan dalam ayat ini walaupun ditujukan langsung kepada laki-laki dan menjelaskan rincian siapa yang merupakan mahram bagi mereka, ini tidaklah menunjukkan bahwa di dalam ayat ini tidak dijelaskan tentang siapa mahram bagi perempuan. Karena mafhûm mukhâlafah (pemahaman kebalikan) dari ayat ini menjelaskan hal tersebut.

Misalnya disebutkan dalam ayat: “Diharamkan atas kalian ibu-ibu kalian”, maka mafhûm mukhâlafahnya adalah: “Wahai para ibu, diharamkan atas kalian menikah dengan anak-anak kalian.”

Misal lain, disebutkan dalam ayat: “Dan anak-anak perempuan kalian.” Maka mafhûm mukhâlafahnya adalah: “Wahai anak-anak perempuan diharamkan atas kalian menikah dengan ayah-ayah kalian.” Dan demikian seterusnya.

Sebagai pelengkap dari pembahasan ini, kami sebutkan ayat dalam surah An Nûr ayat 31:

وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أو أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِيْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِيْ أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرَ أُوْلِي الإِْ رْبَةِ مِنَ الرَّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ اللَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ

“Janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki mereka yang tidak mempunyai keinginan (kepada wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat.”

Demikianlah, mudah-mudahan jawaban ini bermanfaat. Wa akhiru da’wâna ‘anilhamdu lillahi Rabbil ‘âlamin.

Sumber: Majalah An-Nashihah volume 01 Tahun 1/1422 H/2001 M halaman 51-56, dengan perbaikan ejaan dan ketikan.

http://ummuyahya.wordpress.com/2010/02/18/siapakah-mahrammu/