Sabtu, 20 Februari 2010

Hukum Memandang dan Berjabat Tangan dengan Selain Mahram

Oleh: Al Ustadz Abul Fadhl Shobaruddin

Pertanyaan:

Sungguh agama telah mengatur segala aspek kehidupan dan menatanya dengan keimanan dan ketundukan kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ. Perbedaan begitu banyak terjadi dalam kehidupan, termasuk kontroversi tentang haram dan tidak haramnya memandang dan berjabat tangan dengan selain mahram. Fenomena ini terus mencuat, lalu bagaimanakah sebenarnya analisa ilmiah tentang hal tersebut?

Jawab:

Allah subhânahu wa ta’âlâ telah menciptakan manusia, maka tentunya Allah pun telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya bagaimana hukum yang berlaku bagi laki-laki dan wanita yang tidak semahram dalam memandang dan berjabat tangan. Olehnya kita simak uraian dalil Al Qur’an dan Sunnah tentang masalah ini, agar hati kita tenang dan dapat mengamalkannya sesuai dengan perintah agama.

Adapun dalil dari Al Qur’an:

Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman dalam surah An Nur: 31

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya.”

Ayat ini menunjukkan perintah Allah subhânahu wa ta’âlâ kepada wanita-wanita mu’minah untuk menundukkan pandangannya dari apa yang Allah subhânahu wa ta’âlâ telah haramkan, maka jangan mereka memandang kecuali apa yang Allah subhânahu wa ta’âlâ telah halalkan baginya.

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah: “Kebanyakan para ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang haramnya wanita memandang laki-laki selain mahramnya apakah dengan syahwat atau tanpa syahwat”. (Tafsir Ibnu Katsir 3/345)

Berkata Imam Al Qurthubi rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini: “Allah subhânahu wa ta’âlâ memulai dengan perintah menundukkan pandangan sebelum perintah menjaga kemaluan karena pandangan adalah pancaran hati. Dan Allah subhânahu wa ta’âlâ memerintahkan wanita-wanita mu’minah untuk menundukkan pandangannya dari hal-hal yang tidak halal. Oleh karena itu tidak halal bagi wanita-wanita mu’minah untuk memandang laki-laki selain mahramnya.” (Tafsir Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an 2/227)

Berkata Imam Asy Syaukani rahimahullah: “Ayat ini menunjukkan haramnya bagi wanita memandang kepada selain mahramnya.” (Tafsir Fathul Qodir 4/32)

Berkata Muhammad Amin Asy Syinqithi rahimahullah: “Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa yang menjadikan mata itu berdosa karena memandang hal-hal yang dilarang berdasarkan firman Allah subhânahu wa ta’âlâ dalam surah Ghafir ayat 19:

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُوْرِ

“Dia mengetahui khianatnya (pandangan) mata dan apa yang disembunyikan oleh hati.”

Ini menunjukkan ancaman bagi yang menghianati matanya dengan memandang hal-hal yang dilarang”.

Al Imam Al Bukhari rahimahullah berkata: “Makna dari ayat (An Nur: 31) adalah memandang hal yang dilarang karena hal itu merupakan pengkhianatan mata dalam memandang.” (Adhwa’ Al Bayan 9/190)

Dalil-dalil dari Sunnah:

# Dari Abi Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhari-Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ فِي الطُّرُقَاتِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا لَنَا بُدٌّ مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيْهَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوْا الطَّرِيْقَ حَقَّهُ قَالُوْا وَمَا حَقُّهُ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Hati-hatilah kalian dari duduk di jalan-jalan, mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah ada apa-apanya (bahayanya) dari majelis-majelis yang kami berbicara di dalamnya? Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam menjawab: “Apabila kalian tidak mau kecuali harus bermajelis maka berikanlah bagi jalanan haknya,” mereka bertanya: “Dan apa haknya jalanan itu?” Rasulullah menjawab: “Menundukkan pandangan, menahan diri dari mengganggu, menjawab salam dan amar ma’ruf nahi mungkar.”

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (11/11): “Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam melarang duduk di jalan, hal ini untuk menjaga timbulnya penyakit hati dan fitnah dari memandang laki-laki ataupun wanita selain mahramnya.”

Berkata Syamsuddin Al ‘Azhim Al Abadi sebagaimana dalam ‘Aunul Ma’bud (13/168): “Ghodhdhul bashor (menundukkan pandangan) yaitu menahan pandangan dari melihat yang diharamkan”.

# Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhari-Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam menegaskan:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakannya.”

Imam Bukhari dalam menjelaskan hadits ini menyatakan bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya dapat berzina, sebagaimana beliau sebutkan dalam sebuah bab bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya dapat berzina.

Dan Al Hafizh Ibnu Hajar telah menukil dari Ibnu Baththal, beliau berkata bahwa: “Mata, mulut dan hati dinyatakan berzina karena asal sesungguhnya dari zina kemaluan itu adalah memandang kepada hal-hal yang haram.” (Fathul Bari 11/26)

Maka dari pernyataan ini menunjukkan bahwa hukum memandang kepada selain mahram adalah haram karena memandang adalah wasilah (jalan) yang mengantar kita untuk berbuat zina kemaluan yang mana hal itu termasuk dosa besar.

# Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

يَتَحَقَّقُ رَجُلٌ مِنْ جُحْرٍ فِيْ حُجَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَمَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مدري يحك به رأسه فقال لو أعلم أنك تنظر لطعنت به في عينك إنما جعل الاستئذان من أجل البصر

“Seseorang dari satu celah mengamati kamar-kamar Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam dan pada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam ada sisir yang beliau menggaruk kepalanya, maka beliau berkata: “Sekiranya saya tahu engkau memandang (ke kamarku) maka akan kutusukkan sisir ini ke matamu, sesungguhnya diberlakukannya meminta izin itu karena alasan pandangan.” (HR Bukhari Muslim)

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya meminta izin disebabkan karena hal memandang dan adapun larangan memandang ke dalam rumah orang tanpa memberitahu pemiliknya karena dikhawatirkan ia akan melihat hal-hal yang haram.” (Fathul Bari: 11/221)

# Dari Jarir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu:

سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِيْ

“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam tentang memandang secara tiba-tiba, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam memberi perintah kepadaku: “Palingkanlah pandanganmu.” (HR Muslim)

Syeikh Salim Al Hilali hafizhahullah berkata: “Hadits ini menjelaskan bahwa tidak ada dosa pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba (tidak disengaja) akan tetapi wajib untuk memalingkan pandangan berikutnya, karena hal itu sudah merupakan dosa.” (Bahjatun Nadzirin 3/146)

Imam An Nawawi mengatakan: “Pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba tanpa maksud tertentu pada pandangan pertama maka tak ada dosa. Adapun selain itu, bila ia meneruskan pandangannya maka hal itu sudah terhitung sebagai dosa.” (Syarh Shahih Muslim 4/197)

HUKUM MEMANDANG SELAIN MAHRAM MENURUT PENDAPAT PARA ULAMA

Dari uraian dalil Al Qur’an dan Sunnah di atas menunjukkan bahwa hukum memandang kepada selain mahram adalah haram. Dan tidak terjadi khilaf di antara para ulama akan hal itu.

Al Imam An Nawawi telah menukil kesepakatan para ulama tentang haramnya memandang kepada selain mahram dengan syahwat. (Syarh Shahih Muslim oleh An Nawawi 6/262)

Adapun khusus wanita bila memandang dengan tanpa syahwat maka terjadi perselisihan pendapat, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, bahwa: “Kebanyakan para ulama menyatakan haram bagi wanita memandang selain mahramnya baik dengan syahwat ataupun tanpa syahwat dan sebagian lagi dari mereka menyatakan bahwa haram wanita memandang dengan syahwat, adapun tanpa syahwat maka hal itu boleh. (Tafsir Ibnu Katsir 3/354)

Adapun dalil pendapat Jumhur Ulama yang menyatakan haram memandang secara mutlak adalah:

# Surah An Nur: 31, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya.”

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini bahwa ayat ini merupakan dalil akan haramnya wanita memandang kepada selain mahram. (Tafsir Ibnu Katsir 3/345).

Dan berkata Muhammad Ibnu Yusuf Al Andalusi dalam Tafsirnya (Tafsirul Bahrul Muhit: 6/411) dan Imam Asy Syaukani (Fathul Qadir: 4/32): “Bahwa surah An Nur ayat 31 ini sebagai taukid (penguat) ayat sebelumnya yaitu An Nur ayat 30, bahwa hukum laki-laki memandang kepada selain mahram adalah haram secara mutlak maka begitupun hukum wanita memandang kepada selain mahram adalah haram secara mutlak pula.”

# Dan hadits Ummu Salamah:

كُنْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ مَيْمُوْنَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ احْتَجِبَا مِنْهُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَفَعُمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ

“Pernah aku bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam dan Maimunah ada disisinya, maka datanglah Ibnu Ummi Maktum dan pada saat itu kami telah diperintah untuk berhijab, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berkata: “Berhijablah kalian darinya,” maka kami mengatakan: “Bukankah Ibnu Ummi Maktum buta, tidak melihat dan tidak mengenal kami?” maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berkata: “Apakah kalian berdua buta? bukankah kalian berdua dapat melihatnya?” (HR Abu Dawud no. 4112, At Tirmidzi no. 2778, An Nasa’i dalam Al Kubra no. 9241, Ahmad 6/296, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 6922, Ibnu Hibban sebagaimana Al Ihsan no. 5575-5576, Al Baihaqi 7/91, Ath Thabarani 23/no. 678, Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat 8/175,178, Al Khatib Al Baghdadi dalam Tarikhnya 3/17-18, 8/338 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid 19/155)

Tapi hadits ini ada kelemahan di dalamnya yaitu seorang rawi yang bernama Nabhan maula Ummu Salamah dan ia ini adalah seorang rawi yang majhul. Karena itu hadits ini dilemahkan oleh syeikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 1806.

Imam An Nawawi berkata: ada dua pendapat dalam masalah hukum wanita memandang tanpa dengan syawat, dan yang rojih dalam masalah ini adalah haram, berdasarkan dalil Surah An Nur: 31. Dan dalil yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Ummi Salamah dan beliau berkata bahwa haditsnya hasan. (Lihat Syarah Muslim oleh An Nawawi 6/262)

Adapun dalil yang digunakan oleh orang-orang yang membolehkan wanita memandang kepada selain mahram tanpa syahwat adalah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْمُ عَلَى بَابِ حُجْرَتِيْ وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُوْنَ بِحِرَابِهِمْ فِيْ مَسْجِدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِيْ بِرِدَائِهِ لِكَيْ أَنْظُرُ إِلَى لَعْبِهِمْ

“Aku melihat Rasullullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam di pintu kamarku dan orang-orang Habasyah bermain dalam masjid Rasullullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam, (beliau) menghijabiku dengan rida’nya supaya aku dapat melihat permainan mereka.” (HR Bukhari-Muslim)

Akan tetapi tidak ada pendalilan (alasan) bagi mereka dalam hadits ini untuk membolehkan memandang kepada laki-laki yang bukan mahram tanpa syahwat. Dan penjelasan hal tersebut sebagai berikut:

Berkata Imam An Nawawi (Syarh Muslim 6/262): “Adapun hadits yang menceritakan tentang ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat orang-orang Habasyah bermain dalam masjid memiliki beberapa kemungkinan, antara lain saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha belum mencapai masa baligh.”

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar (Al Fath 2/445): “Dalam hadits ‘Aisyah tersebut kemungkinan saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha hanya bermaksud melihat permainan mereka bukan wajah dan badannya dan bila ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sampai melihat mereka maka hal itu terjadi secara tiba-tiba dan tentunya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha akan memalingkan pandangannya setelah itu.”

Kemungkinan lainnya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat orang-orang Habasyah bermain dalam masjid dari jarak jauh karena dalam hadits itu diceritakan bahwa ‘Aisyah berada dalam kamarnya sedangkan orang-orang Habasyah bermain dalam masjid. Wallahu a’lam.

SYUBHAT YANG TERJADI SEKITAR HUKUM MEMANDANG

1. Tentang boleh atau tidaknya jika hal yang dipandang itu di dalam televisi, majalah atau koran.

Maka dijawab bahwa tidak ada perbedaan melihat di televisi, majallah dan lain-lain, karena ayat dan hadits-hadits yang kita sebutkan sebelumnya secara umum memerintahkan untuk menundukkan pandangan (Lajnah Fatawa oleh Syaikh Ibnu Baz).

2. Pandangan pertama adalah rahmat.

Hal ini tidak betul, sebab dalam hadits Jarir yang telah lalu diceritakan ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam ditanya tentang memandang secara tiba-tiba (tidak disengaja) yang terjadi pada awal kali memandang, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam memerintahkan untuk memalingkan pandangan itu. Maka tentunya memandang dengan sengaja adalah dosa walaupun terjadi pada awal kali memandang.

3. Melihat ciptaan Allah adalah ibadah.

Ibnu Taymiyah berkata: “Siapa yang berkata bahwa melihat kepada ciptaan Allah adalah ibadah termasuk melihat kepada yang haram (yang bukan mahramnya), ini berarti dia telah menyatakan bahwa perbuatan keji itu adalah ibadah. Ini adalah perkataan kufur dan murtad sebagaimana ayat:

قُلْ إِنَّ اللهَ لاَ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan perkataan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS Al A’raf: 28)

Catatan:

Tidak bolehnya melihat kepada perempuan yang bukan mahram ini berlaku umum kecuali kalau seseorang ingin meminang maka boleh ia melihat kepada pinangannya dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh syari’at sebatas keperluan sebagaimana yang dijelaskan dalam dalil-dalil yang sangat banyak. Wallahu a’lam.

HUKUM BERJABAT TANGAN DENGAN SELAIN MAHRAM

Adapun hukum berjabat tangan dengan selain mahram adalah haram, dalilnya sangat jelas, antara lain:

# Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhari-Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam menegaskan:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zananya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan.”

Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim (16/316) menjelaskan: “Hadits ini menerangkan bahwa haramnya memegang dan menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar untuk melakukan zina kemaluan.”

# Hadits Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu:

لَأَنْ يُطْعَنُ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HSR Ar Ruyani dalam Musnadnya no.1282, Ath Thobrani 20/no. 486-487 dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 4544 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 226)

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram adalah dosa besar (Nashihati lin Nisa hal.123)

Berkata Asy Syinqithi (Adwa’ Al Bayan 6/603): “Tidak ada keraguan bahwa fitnah yang ditimbulkan akibat menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih kuat dibanding fitnah memandang.”

Berkata Abu ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali Al Makky Al Haitami (Az Zawajir 2/4) bahwa: “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram adalah termasuk dosa besar.”

# Hadits Amimah bintu Raqiqoh radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:

إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

“Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita.” (HSR Malik no. 1775, Ahmad 6/357, Ishaq Ibnu Rahaway dalam Musnadnya 4/90, ‘Abdurrazzaq no. 9826, Ath Thoyalisi no. 1621, Ibnu Majah no. 2874, An Nasa’i 7/149, Ad Daraquthni 4/146-147, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al Ihsan no. 4553, Al Baihaqi 8/148, Ath Thabari dalam Tafsirnya 28/79, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al Ahad wal Matsani no. 3340-3341, Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqot 8/5-6, Ath Thobarani 24/no. 470,472,473 dan Al Khallal dalam As Sunnah no. 45. Dan dihasankan oleh Al Hafizh dalam Fathul Bari 12/204, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 529 dan Syaikh Muqbil dalam Ash Shahih Al Musnad Mimma Laisa Fii Ash Shahihain. Dan hadits ini mempunyai syahid dari hadits Asma’ binti Yazid diriwayatkan oleh Ahmad 6/454,479, Ishaq Ibnu Rahawaih 4/182-183, Ath Thabarani 24/no. 417,456,459 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid 12/244. Dan di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syahr bin Hausyab dan ia lemah dari sisi hafalannya namun bagus dipakai sebagai pendukung)

Berkata Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid 12/243: “Dalam perkataan beliau “aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita” ada dalil tentang tidak bolehnya seorang lelaki bersentuhan dengan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya-pent.) dan menyentuh tangannya dan berjabat tangan dengannya.”

# Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam riwayat Bukhari-Muslim, beliau berkata:

وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ فِي الْمُبَايَعَةِ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ

“Demi Allah tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah menyentuh tangan wanita dalam berbai’at, beliau hanya membai’at mereka dengan ucapan.”

Berkata Imam An Nawawi (Syarh Muslim 13/16): “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at wanita dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan.”

Berkata Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir 4/60): “Hadits ini sebagai dalil bahwa bai’at wanita dengan ucapan tanpa dengan menyentuh tangan.”

Jadi bai’at terhadap wanita dilakukan dengan ucapan tidak dengan menyentuh tangan. Adapun asal dalam berbai’at adalah dengan cara menyentuh tangan sebagaimana Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam membai’at para shahabatnya dengan cara menyentuh tangannya. Hal ini menunjukkan haramnya menyentuh/berjabat tangan kepada selain mahram dalam berbai’at, apalagi bila hal itu dilakukan bukan dengan alasan bai’at tentu dosanya lebih besar lagi.

SYUBHAT-SYUBHAT YANG TERSEBAR DALAM MENYENTUH/BERJABAT TANGAN DENGAN SELAIN MAHRAM

1. Boleh menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram dengan dalil 2 hadits dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha:

فَمَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ مِنْ خَارِجِ الْبَيْتِ وَمَدَدْنَا أَيْدِيَنَا مِنْ دَاخِلِ الْبَيْتِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ اشْهَدْ

“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam memanjangkan tangannya dari luar rumah dan kamipun memanjangkan tangan kami dari dalam rumah kemudian beliau berkata: “Ya Allah, saksikanlah.”

Dan juga beliau berkata dalam riwayat Bukhari:

بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْنَا أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَنَهَانَا عَنْ النِّيَاحَةِ فَقَبَضَتْ امْرَأَةٌ يَدَهَا…

“Kami berbai’at kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam, maka beliau membacakan kepada kami ayat ((Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu pun)) dan melarang kami dari meraung (sewaktu kematian), maka wanita (itupun) memegang tangannya…”

BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT:

> Hadits pertama kata Al Hafizh Ibnu Hajar diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Bazzar, Ath Thabari dan Ibnu Mardaway dari jalan Isma’il bin ‘Abdirrahman dan dia ini kata Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah 2/65 laisa bimasyhur (tidak terkenal) maka beliau hukumi haditsnya sebagai hadits laisa bil qawy (tidak kuat).

> Kata Al hafizh Ibnu Hajar bahwa mereka memanjangkan tangan dari belakang hijab, itu sebagai isyarat bahwa bai’at telah terjadi walaupun tidak berjabat tangan.

> Dalam hadits pertama ini tidak ada kepastian bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam menyentuh/berjabat tangan dengan wanita, bahkan yang dipahami dalam hadits itu Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam hanya memanjangkan tangannya.

> Pada hadits kedua, dimaksud yang memegang tangannya adalah tangan wanita itu sendiri bukan tangan Rasulullah.

> Kemudian dalam dua hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al Albani rahimahullah bukan pernyataan yang shorih (tegas, jelas) bahwa para wanita ini berjabat tangan dengan beliau maka tidak boleh hadits yang seperti ini menggugurkan kandungan dari hadits Amimah bintu Raqiqah dan hadits ‘Aisyah yang jelas menyatakan bahwa rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam sama sekali tidak pernah berjabat dan menyentuh tangan wanita baik dalam bai’at maupun di luar bai’at.

2. Boleh menyentuh/berjabat tangan bila dilapisi dengan kain atau semacamnya,dengan dalil hadits Sya’bi radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَايَعَ النِّسَاءَ أُتِيَ بِثَوْبٍ قَطْرٍ فَوَضَعَهَا عَلَى يَدِهِ وَقَالَ أَنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

“Bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam ketika beliau membai’at para wanita, beliau diberi kain sutra, kemudian beliau meletakkannya atas di tangannya dan berkata: “Saya tidak berjabat tangan dengan wanita.”

BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT:

> Hadits ini mursal (dha’if). Dikeluarkan dari ‘Abdurrazzaq dari jalan An Nakha’i dengan mursal. Dan dari Ibnu Manshur dari jalan Qois Abi Hazm dengan jalan mursal. Karena hadits lemah, maka dikembalikan kepada hadits yang secara umum menyatakan haramnya menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram, apakah dengan memakai pelapis/pembatas atau tidak. (Lihat Al Fatawa Wa Ar Rasa’il Lin Nisa’i karya Syaikh ‘Utsaimin hal. 10 dan Nashihati Lin Nisa’ oleh Ummu ‘Abdillah binti Muqbil bin Hadi Al Wadi’i hal. 14)

3. Boleh menyentuh/berjabat tangan dengan orang yang sudah tua

BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT:

> Hal ini telah ditanyakan kepada Syaikh bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin rahimahumallah dan beliau menjawab bahwa tidak ada perbedaan dalam hal ini apakah orang yang dijabat tangani sudah tua atau belum, karena hadits-hadits yang menyebutkan bahaya dan fitnah yang ditimbulkan tidak membedakannya. Kemudian kata Syaikh batas orang tua ataupun muda, berbeda menurut penilaian masing-masing orang. (Lihat Fatwa Syaikh bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin)

Wallahu a’lam bishshawab.

4. Saya berjabat tangan kepada selain mahram itu karena niat yang baik.

BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT:

Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman:

وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu pasti berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan sholeh.” (QS Al ‘Ashr : 1-3)

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk-bentuk dan harta-harta kalian tetapi Allah melihat kepada hat-hati dan amalan-amalan kalian.” (HSR Muslim)

Berkata Al Imam Al Ajurri di kitab Asy Syari’ah hlm. 128: “Amalan yang dilakukan oleh anggota tubuh sebagai pembenaran iman yang ada dalam hati, maka barangsiapa yang tidak beramal tidak dikatakan sebagai orang yang beriman bahkan meninggalkan amalan adalah pendustaan terhadap imannya kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ.

Wallahu a’lam bishshawab.

KESIMPULAN:

Dari uraian dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah di atas maka telah jelas bagi kita tentang larangan memandang dan berjabat tangan kepada selain mahram. Bahwa hukum memandang dan berjabat tangan kepada selain mahram adalah haram.

Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.

Sumber: Majalah An-Nashihah volume 04 Tahun 1/1423 H/2002 M halaman 58-66, dengan perbaikan ejaan dan ketikan.

http://ummuyahya.wordpress.com/2010/02/20/hukum-memandang-dan-berjabat-tangan-dengan-selain-mahram/